TRIBUNNEWS.COM - Serangan militer Amerika Serikat di Irak yang menewaskan jenderal top Iran, Qasem Soleimani memicu ketegangan kedua negara.
Baru-baru ini, parlemen Irak merilis resolusi agar pasukan Amerika Serikat diusir.
Baca: Klaim China di Natuna, Indonesia Diuntungkan dari Gugatan Filipina
Dalam agenda yang berlangsung Minggu (5/1/2020), Perdana Menteri karteker Adel Abdul Mahdi menuturkan serangan AS adalah "pembunuhan politik".
Dia kemudian bergabung bersama 168 anggota Parlemen Irak, yang sudah memenuhi kuorum berdasarkan total anggota 329 orang, untuk mendukung resolusi.
Dalam resolusi yang dirilis, Baghdad memutuskan membatalkan permintaan bantuan mereka dalam mendatangkan koalisi internasional yang dipimpin AS.
Koalisi itu diminta oleh pemerintah setempat pada 2014 silam guna memerangi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Pemerintah Irak harus bekerja untuk mengakhiri segala pasukan asing, dan melarang mereka menggunakan tanah, air, atau udara Irak," bunyi resolusi itu.
Dilansir AFP dan Al Jazeera, tahap selanjutnya adalah membutuhkan persetujuan pemerintah mengingat statusnya yang tidak mengikat.
Namun berdasarkan pidato PM karteker Mahdi di parlemen, dia mengisyaratkan pemerintahan baru bakal memberikan dukungan.
"Saat ini kami menghadapi dua pilihan utama," ujarnya.
Pertama adalah Irak secara resmi mengusir militer AS dan sekutunya secepatnya.
Kemudian opsi kedua, menentukan penarikan pasukan asing itu berdasarkan jangka waktu tertentu berdasarkan proses parlemen. Jelang pemungutan suara, massa yang menunggu di luar telah meneriakkan
"Tidak, tidak untuk AS. Panjang umur Irak!" AS menempatkan sekitar 5.200 tentara di seantero pangkalan Irak, dan berperan sebagai penasihat bagi militer lokal.