TRIBUNNEWS.COM - Seorang pejabat militer Iran menyatakan serangan terhadap pasukan Amerika Serikat di Irak bisa jadi hanya awal dari operasi besar di Timur Tengah.
Namun, operasi besar tersebut dapat terjadi apabila Amerika Serikat melakukan serangan balasan.
Baca: Akui Rudalnya Membuat Pesawat Ukraine Airlines Jatuh, Iran Juga Tuding Akibat Kecerobohan AS
Dikutip TV pemerintah Iran, pimpinan Angkatan Udara Garda Revolusi Iran, Brigadir Jenderal Amir Ali Hajizadeh, mengatakan satu-satunya upaya balas dendam yang tepat atas pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani adalah mengusir pasukan AS dari Timur Tengah.
Pernyataannya itu disampaikan sehari setelah Iran menembakkan rudal ke pangkalan yang menampung pasukan AS.
Serangan rudal ini merupakan tanggapan atas kematian Soleimani dalam serangan pesawat tak berawak AS di Baghdad, Irak.
Presiden AS Donald Trump, Rabu (8/1/2020), mengumumkan sanksi lanjutan terhadap Iran, tetapi ia mengatakan Teheran 'mundur' setelah serangan rudal tersebut.
Dia tidak menyebutkan tindakan militer lanjutan.
Namun, pada Kamis (09/01), Wakil Presiden AS, Mike Pence, mengatakan kepada stasiun televisi Fox News bahwa "atas arahan presiden kita akan tetap waspada".
Baca: Profesor Peter Carey soal Reynhard Sinaga: Harus Dipastikan Dia Tidak Dibunuh di Penjara
Dalam wawancara untuk CBS, Pence mengatakan bahwa AS menerima 'informasi intelijen' bahwa Iran telah mengirim pesan kepada kelompok milisi sekutunya agar tidak menyerang sasaran target AS.
Dewan Perwakilan Rakyat AS diperkirakan akan menggelar jajak pendapat tentang resolusi agar dapat memaksa Trump menghentikan tindakan militer lebih lanjut terhadap Iran.
Apa yang Dikatakan Pejabat Militer Iran?
Dalam konferensi pers yang diliput oleh media pemerintah Iran, Hajizadeh mengatakan pihaknya siap menembakkan ratusan atau bahkan ribuan rudal.
Saat ini menurutnya ada sekitar 20 rudal sudah ditembakkan.
Hajizadeh berkata, tembakan rudal itu tidak diniatkan untuk membunuh setiap pasukan AS.
Namun operasi itu bisa direncanakan sedemikian rupa sehingga sebanyak 500 tewas di tahap pertama.
"Kami memperkirakan bentrokan itu akan berlanjut selama tiga hari hingga sepekan. Kami telah menyiapkan sekian ribu rudal dalam keadaan seperti sekarang," kata Hajizadeh, sebagaimana dilaporkan kantor berita Fars.
Brigjen Hajizadeh juga mengatakan Iran telah meluncurkan serangan siber yang ia klaim telah melumpuhkan sistem AS dalam melacak rudal selama serangan.
Meski demikian, para pejabat AS menyatakan dapat mencegah korban berjatuhan karena sistem peringatan dini berjalan efektif.
Wartawan BBC Persia, Jiyar Gol, menyebut penampilan Brigjen Hajizadeh, dengan bendera berbagai kelompok milisi dibariskan di belakang podiumnya, merupakan upaya pamer kekuatan di kawasan Timur Tengah.
Hajizadeh disebut ingin menunjukkan bahwa berbagai kelompok itu berada di bawah komando Iran.
Bendera-bendera itu, di antaranya bendera pasukan Mobilisasi Populer Irak, yang pemimpinnya tewas bersama Soleimani, serta Hizbullah Lebanon dan Hamas Palestina.
Bendera kelompok Houthi Yaman, yang hingga kini diklaim Iran bebas kepentingan mereka, juga dipajang dalam jumpa pers.
Rabu (8/1/2020), Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei menggambarkan serangan terhadap pasukan AS sebagai 'hinaan' bagi AS.
Namun ia menyebut upaya balas dendam merupakan 'persoalan yang berbeda'.
Selama ini Jenderal Soleimani secara luas dianggap sebagai orang terkuat kedua di Iran.
Sebagai kepala pasukan Quds, dia adalah arsitek kebijakan Iran di Timur Tengah.
Sementara itu AS mengatakan "siap untuk terlibat tanpa prasyarat dalam perundingan serius" dengan Iran.
Dalam sebuah surat kepada PBB, AS membenarkan upaya pembunuhan terhadap Soleimani sebagai tindakan membela diri.
Bagaimana Ketegangan AS-Iran Bermula?
Ketegangan Teheran-Washington mulai meningkat pada 2018 setelah Presiden Trump menyatakan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir antara Iran dan sejumlah negara besar Kesepakatan nuklir pada 2015 antara Iran, AS, China, Rusia, Jerman, Perancis, dan Inggris itu mencabut sanksi atas Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.
Kesepakatan itu dimaksudkan untuk membatasi program nuklir Iran dan mencegahnya membuat senjata nuklir.
Namun demikian, Trump menginginkan kesepakatan baru yang juga akan mengekang program rudal balistik Iran dan keterlibatannya dalam konflik regional.
AS juga memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran, yang membuat ekonomi negara itu merosot tajam.
Pembunuhan atas Soleimani terjadi ketika terjadi pertentangan tajam antara AS dan Iran, yang didukung kelompok-kelompok militannya.
Sengkarut itu muncul akibat kematian seorang kontraktor militer AS dalam serangan rudal di sebuah pangkalan AS di Irak.
AS menanggapinya dengan serangan udara terhadap kelompok milisi yang didukung Iran, Kataib Hezbollah.
Kelompok milisi kemudian membalasnya dengan menyerang kedutaan AS di Baghdad. Soleimani dianggap sebagai teroris oleh pemerintah AS.
Ia dianggap bertanggung jawab atas kematian ratusan tentara AS dan berencana melakukan serangan "dalam waktu dekat".
Sejauh ini AS belum memberikan bukti tentang hal ini.
Iran bersumpah akan melakukan "balas dendam" atas kematian Soleimani.
Jutaan orang di Iran menghadiri pemakamannya.
Pada peristiwa itu, mereka berteriak "matilah AS dan Trump."
Serangan drone AS terhadap Soleimani juga menewaskan sejumlah anggota kelompok milisi Irak yang didukung Iran, yang juga bersumpah akan melakukan aksi balas dendam.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Jika AS Membalas, Iran Siap Tembakkan Ratusan hingga Ribuan Rudal