TRIBUNNEWS.COM - Aktivis lingkungan Indonesia berusia 12 tahun, meminta Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison untuk menghentikan ekspor limbah kertas dan plastik ke negaranya.
Aeshninna (Nina) Azzahra, siswi asal Gresik, Jawa Timur ini mengajukan permintaannya melalui surat terbuka yang dikirim secara pribadi ke Kedutaan Australia di Jakarta kemarin malam, Selasa (21/1/2020).
Dilansir dari ABC News, surat terbuka itu merupakan ekspresi kekecewaan Azzahra terkait dampak ekologis dan kesehatan dari limbah asing yang masuk ke wilayah Indonesia.
Ia juga merinci dampak langsung dari perdagangan ekspor pada desa-desa di wilayah Azzahra tinggal.
"Saya merasa sedih mengetahui bahwa kota saya menjadi tempat pembuangan sampah plastik dari negara-negara maju," tulis Azzahra.
Azzahra juga menuliskan potongan-potongan sampah plastik yang ia temukan membawa label-label dari berbagai negara.
Di antaranya Kanada, Australia, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan sejumlah negara maju lainnya.
"Tolong simpan limbah Australia di Australia dan jangan mengirim sampah yang tidak dapat didaur ulang ke Indonesia, yang akan menambah lebih banyak masalah sampah plastik di negara saya," tulisnya dalam surat terbuka kepada Scott Morrison.
"Berhentilah mengekspor campuran kertas bekas dan sisa plastik ke Jawa Timur dan Indonesia. Tolong ambil kembali sampahmu dari Indonesia," tegasnya dalam surat terbuka itu.
Impor 283 Ribu Ton Sampah pada 2018
Banyak negara maju mengekspor limbah yang tidak dapat didaur ulang ke negara berkembang.
Tujuannya agar negara berkembang ini mendaur ulang limbah-limbah berbahaya itu dan menghancurkannya.
Diketahui, China sebelumnya adalah pemimpin dunia dalam bidang perdagangan.
Tapi, sejak Beijing memberlakukan larangan impor limbah pada Juli 2017, jutaan kilogram limbah dari Australia dan negara maju lainnya berakhir di beberapa negara berkembang di Asia Tenggara.
Di antaranya, Indonesia, Vietnam dan Malaysia.
Pada 2018 lalu, Australia mengekspor 52 ribu ton limbah ke Jawa Timur.
Kuota tersebut meningkat 250 persen dari 2014.
Azzahra menuturkan kepada ABC News, selama perjalanannya ke ladang sampah di Jawa Timur itu, limbah dengan labeh Australia adalah yang paling umum ia temukan setelah sampah berlabel Amerika Serikat.
Kantor Perdana Menteri Buka Suara
Kantor Perdana Menteri angkat bicara terkait surat terbuka dari Azzahra ini melalui seorang Juru Bicara.
Pihaknya mengatakan kepada ABC News dalam sebuah pernyataan bahwa Pemerintah Australia akan menghentikan larangan ekspor plastik, kaca, dan kertas bekas mulai Juli.
"Sama seperti Nina, pemerintah kami menganggap penanganan sampah adalah prioritas utama," kata pernyataan tersebut.
"Karena ini merupakan masalah penting bagi lingkungan kami, di rumah dan di seluruh wilayah tempat kami tinggal," terangnya.
Juru Bicara itu menerangkan, pemerintah Australia akan bekerja dengan industri terkait untuk menghapuskan kemasan plastik sekali pakai dan microbeads berbahaya.
"Kami mendukung rencana Indonesia untuk memerangi puing-puing laut sebesar 20 persen," terangnya.
"Dan limbah hingga 30 persen dan kami bermitra dengan mereka untuk berbagi pengetahuan kami dan apa yang telah dipelajari oleh negara kami," terangnya.
Protes Aktivis Indonesia
Tahun lalu, kelompok aktivis lingkungan Indonesia, Ecoton menuduh perusahaan-perusahaan Australian telah menyelundupkan sejumlah besar limbah kertas bekas.
Tak hanya itu, Ecoton memduga ada limbah yang dikirim untuk didaur ulang.
Masyarakat yang cenderung memiliki penghasilan rendah, seperti di Jawa Timur itu pun beralih ke pengolahan limbah.
Hal itu untuk mendapatkan perkerjaan dengan upah atau bahkan demi menghasilkan lapangan pekerjaan di daerah-daerah yang tidak memiliki penghasilan konsisten.
Seorang pemilik bisnis pengolahan limbah, Eko Wahyudi mengatakan kepada Los Angeles Times ia pernah memiliki pekerja sekira 20 orang.
Mereka dipekerjakan untuk memilah sampah.
Limbah yang tidak dapat di daur ulang di jual sebagai sumber bahan bakar murah untuk produsen tahu di Jawa Timur.
"Limbah dari Amerika Serikat berarti pekerjaan di sini," ujar Wahyudi.
"Semua orang di sini bergantung pada perdagangan ini, si kaya dan si miskin," tambahnya.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani/ABC News)