"Membawa mereka kembali ke Indonesi tidak akan bersifat risiko, apalagi kalau mereka dibina di pusat Handayani yang dipimpin Kementerian Sosial," ujar Sidney kepada wartawan BBC News Indonesia, Callistasia Wijaya.
"Saya kira, apa salahnya pemerintah Indonesia mulai sekarang, tapi jangan hanya bicara, buka komunikasi dengan Kurdi yang menguasai kamp-kamp itu (untuk mendata anak-anak di sana)," tambahnya.
Semenjak kekalahan kelompok kekhilafahan ISIS kira-kira dua atau tiga tahun lalu, keluarga para petempur ISIS - para perempuan dan anak-anak - di tempatkan di kamp pengungsian yang dipadati lebih dari 70.000 orang.
Presiden Jokowi mengatakan pemerintah tidak berencana untuk memulangkan lebih dari 600 orang di kamp-kamps Suriah, yang dia sebut sebagai 'ISIS eks WNI'.
Namun, ada peluang untuk repatriasi anak.
"Dari identifikasi dan verifikasi ini, nanti akan kelihatan karena kita memang masih memberikan peluang untuk yatim piatu yang berada pada posisi anak-anak di bawah 10 tahun. Tapi kita belum tahu apakah ada atau tidak," ujar Jokowi.
'Lebih ISIS daripada ISIS'
Sidney mengatakan akan lebih bahaya jika anak-anak itu tinggal di Suriah karena mereka berpotensi menjadi generasi kedua Mujahid ISIS.
Sidney menambahkan mereka juga mungkin berkolaborasi dengan anak-anak teroris dari negara lain di kamp itu untuk melakukan gerakan terorisme di masa depan.
Khairul Ghazali, mantan pelaku terorisme yang kini mengasuh sebuah pondok pesantren untuk mederadikalisasi anak-anak teroris di Medan, Sumatera Utara, mengatakan anak-anak yang dibawa orang tuanya untuk ke Suriah adalah korban.
Jika mereka tidak dikembalikan ke Indonesia, hal itu bisa sangat berbahaya.
"Korban itu bukan hanya yang kena serpihan bom, tapi anak-anak pelaku teroris. Mereka korban ideologi yang salah dan sesat dari orang tuanya," ujarnya.
"Kalau nggak dikembalikan malah lebih bahaya, mereka akan gabung dengan tokoh-tokoh teroris internasional. Mereka akan lebih ISIS daripada ISIS itu sendiri. Bahayanya lebih besar dari manfaatnya," ujarnya.