TRIBUNNEWS.COM - Tentara Amerika Serikat (AS) menarik diri dari al-Qaim dan dua pangkalan militer utamanya di Irak.
Keputusan meninggalkan tiga dari delapan pangkalan militer AS di Irak merupakan tanda AS secara dramatis sedang mengurangi jejaknya di negara tersebut.
Melansir BBC, keputusan ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan pemerintah Irak dan Iran.
Dalam sebuah upacara pada Minggu (15/3/2020) di al-Qaim, AS secara resmi menyerahkan peralatan militer kepada tentara Irak untuk membantu memastikan keamanan daerah tersebut.
Upacara tersebut mengakhiri kehadiran AS di sepanjang sisi Irak, perbatasan dengan Suriah.
Baca: Presiden AS Donald Trump Perintahkan Pentagon Balas Serangan Mematikan di Pangkalan Irak
Baca: Tiga Tentara AS dan Inggris Tewas Setelah Roket Hantam Pangkalan Militer di Irak
Baca: Wabah Virus Corona Menjangkit 37 Negara per Selasa, 25 Februari: Irak dan Oman Konfirmasi Kasus
Pangkalan Militer di Irak
Lebih lanjut, pangkalan militer di Irak dibangun di atas reruntuhan satu di antara stasiun tertua Irak.
Lokasinya dekat dengan kota kecil yang memiliki nama sama di sepanjang Sungai Eufrat.
Daerah itu merupakan tempat pertama di Irak yang jatuh ke tangan ISIS pada 2014 lalu.
Ditambah, daerah itu adalah satu di antara wilayah terakhir yang diambil kembali oleh pasukan Irak pada November 2017.
Setelah kemenangan melawan ISIS di wilayah tersebut, kelompok-kelompik milisi yang didukung Iran mengambil kendali atas kedua sisi perbatasan.
Walaupun pasukan keamanan Irak juga berada di wilayah tersebut, kini mereka berada di bawah kendali kelompik milisi, Popular Mobilisation Forces (PMF)
Lebih lanjut, koresponden BBC yang melakukan perjalanan dua kali dalam dua tahun ke al-Qaim bersama pasukan AS telah menyaksikan bagaimana suasana sekitar pangkalan itu berangsur-angsur berubah.
Pada Desember 2017, bendara Irak dan AS dapat terlihat berkibar saat koalisi pimpinan-AS dan pasukan Irak bekerja sama memerangi ISIS.
Baca: Serangan Roket Kembali Menghantam Pangkalan Pasukan AS di Irak Utara
Pada saat itu, kelompok-kelompik yang berafiliasi dengan PMF, terutama Kataib Hezbollah dan Brigade al-Tofof, memiliki hubungan dengan Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Mereka bersama bertempur melawan ISIS di kedua sisi perbatasan.
Itu adalah situasi yang tidak nyaman bagi kedua belah pihak.
Tetapi mereka memiliki musuh yang sama untuk dikalahkan.
Lebih lanjut, tentara Irak bertindak sebagai perantara seringkali mengkoordinasi operasi paralel terhadap ISIS.
Suasana Berubah Dramatis
Tetapi selama perjalanan terakhir korespoden BBC pada bulan Desember 2018, suasana di daerah tersebut telah berubah secara dramatis.
Kelompok-kelompok yang didukung Iran telah menjadi bagian dari pasukan keamanan resmi Irak dan mendapatkan kekuasaan.
Tahun itu hanya satu bendera yang berkibar di al-Qaim, Amerika telah mengambil kendali pangkalan itu.
Namun di luar pangkalan, jalan-jalan dipenuhi dengan bendera dan papan iklan PMF yang menggambarkan pemimpin tertinggi Iran, seorang lelaki yang oleh beberapa kelompok PMF anggap sebagai pemimpin dan komandan agama mereka.
Konvoi AS harus melewati pos pemeriksaan yang dikendalikan PMF untuk melakukan perjalanan ke pangkalan artileri mereka di perbatasan Suriah.
Tetapi PMF mulai membuat oposisi mereka terhadap kehadiran pasukan AS di Irak, dengan mengatakan bahwa mereka mampu menangani ancaman apa pun dari IS saja.
Diketahui, Kataib Hezbollah menuduh AS menyerang pangkalannya di dekat perbatasan Suriah, sesuatu yang sering dibantah koalisi pimpinan AS.
"Kami akan membuat mereka pergi jika mereka tidak ingin pergi," seorang komandan Kataib Hezbollah yang menyebut dirinya Abu Ameneh mengatakan kepada kami dalam sebuah wawancara di markas PMF di Baghdad.
Para pejabat AS mengatakan mereka telah merencanakan untuk meninggalkan daerah-daerah seperti al-Qaim sejak tahun lalu.
Karena berkurangnya ancaman dari IS tetapi kekhawatiran akan keselamatan AS dan pasukan koalisi telah mempercepat langkah tersebut.
Serentetan Serangan
Seorang pejabat senior pertahanan AS mengatakan kepada BBC bahwa kedekatan Kataib Hezbollah dengan pangkalan itu adalah "faktor kunci dalam perhitungan keputusan untuk memindahkan pasukan ke tempat lain".
AS juga berencana menarik diri dari Qayara Airfield West, yang dikenal sebagai Q-West, dan Kirkuk.
Qayara adalah pangkalan yang digunakan dalam operasi yang didukung AS untuk mengambil kembali Mosul dari ISIS.
Baca: BREAKING NEWS - 3 Roket Jatuh di Dekat Kedubes AS di Irak
Untuk diketahui, kedua pangkalan itu telah dilanda serangan roket dalam beberapa bulan terakhir.
Seorang kontraktor AS tewas dalam serangan roket di Kirkuk pada 28 Desember.
Serangan itu disalahkan pada Kataib Hezbollah dan diikuti oleh serangan udara AS terhadap markas besar kelompok itu di Suriah dan Irak.
Serangan tersebut dilaporkan menewaskan 25 orang.
Setidaknya 25 serangan roket, melepaskan lebih dari 160 roket individu, telah menghantam pangkalan AS di Irak sejak Oktober 2019.
Pekan lalu, dua serangan di pangkalan Taji menewaskan tiga anggota koalisi, dan melukai dua anggota pasukan keamanan Irak.
Namun, serangan balasan oleh AS di lokasi yang dikatakan orang Amerika adalah fasilitas penyimpanan amunisi Kataib Hezbollah menewaskan tiga personil militer Irak, dua petugas polisi lokal dan satu warga sipil.
Serangan itu merusak hubungan antara Amerika di Irak dan tentara negara itu, tuan rumah mereka dan mitra asli dalam perang melawan IS.
Baca: Virus Corona Merebak, 81 Orang Tewas, Irak Evakuasi Pelajar yang Masih Berada di Wuhan
Baca: Kedubes AS di Irak Kembali Diserang Roket
Dalam sebuah langkah yang tidak biasa, Komando Operasi Gabungan Irak, pusat kendali untuk semua aktivitas militer di Irak, mengeluarkan pernyataan yang menyalahkan kedua belah pihak tetapi mendukung suara parlemen untuk meminta Amerika pergi.
Jumlah resmi pasukan AS di Irak diperkirakan mencapai 5.200.
Tidak jelas berapa banyak pasukan akan dipekerjakan kembali setelah tiga penutupan pangkalan, karena beberapa akan dipindahkan ke pangkalan operasional lainnya di negara ini.
Masa depan pasukan yang tersisa ini tidak pasti.
AS berharap hubungannya dengan pasukan keamanan Irak masih jauh dari selesai, tetapi banyak di Irak berpikir Amerika telah melampaui sambutannya.
Pembunuhan AS terhadap komandan Iran Qasem Soleimani di Irak awal tahun ini semakin mengguncang dinamika yang rapuh.
Jenderal Soleimani, kepala pasukan elit di IRGC, tewas pada 3 Januari dalam serangan pesawat tak berawak AS di dekat bandara Baghdad, bersama dengan Abu Mahdi al-Muhandis, wakil komandan PMF Irak.
Itu menyebabkan pemilihan di parlemen Irak untuk mengusir semua pasukan asing, terutama Amerika, dari negara itu.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)