Terlepas dari angka yang menggembirakan, para ahli telah memperingatkan bahwa virus corona dapat menyerang kembali dengan gelombang kedua yang lebih mengerikan jika pemerintah dan warga negara ceroboh, terutama saat vaksin belum tersedia.
Pengingat terbaru dari ancaman datang dari Swedia, di mana angka kematian COVID-19 melewati 4.000, angka yang jauh lebih tinggi daripada tetangganya.
Bangsa Skandinavia telah mendapatkan kritik internasional karna tidak menegakkan imbauan "tinggal di rumah" seperti negara-negara Eropa lainnya.
Bagaimanapun juga, lockdown yang berkepanjangan sudah mulai meresahkan warga secara global.
Para pebisnis dan warga negara merasa letih karena dikurung dan menderita kesulitan ekonomi yang luar biasa.
Langkah-langkah stimulus darurat pun telah diperkenalkan.
Pemerintah mencoba untuk memberikan bantuan kepada perekonomi mereka.
Sektor penerbangan dan perhotelan yang sangat terpukul karena adanya larangan bepergian ini.
Lufthansa menjadi perusahaan global besar terbaru yang diselamatkan.
Karena pemerintah Jerman menyetujui bailout 9 miliar euro ($ 9,8 miliar) untuk salah satu maskapai penerbangan terbesar dunia itu.
Tetapi para analis telah memperingatkan bahwa korban ekonomi pandemi akan semakin menyakitkan bagi negara-negara yang jauh lebih miskin daripada negara-negara Barat.
Di Maladewa, tujuan impian bagi pasangan yang berbulan madu, puluhan ribu pekerja asing yang miskin telah terdampar.
Mereka menganggur dan dikucilkan saat negara kecil itu menutup semua resor untuk menghentikan virus.
"Kami butuh uang untuk bertahan hidup. Kami membutuhkan pekerjaan kami," kata Zakir Hossain, pekerja yang sebelumnya bisa mengirim sekitar 80 persen dari upahnya $ 180 sebulan kepada istri dan empat anaknya di Bangladesh sebelum wabah.
"Saya mendengar bahwa jika seorang pekerja Bangladesh meninggal di sini, mereka tidak mengirim tubuhnya kembali dan dia dimakamkan di sini."
"Aku khawatir apa yang akan terjadi jika aku mati," ucapnya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)