TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Gedung Putih, dalam sebuah pernyataan pada peringatan 31 tahun penindasan Lapangan Tiananmen, mendesak Beijing pada hari Kamis waktu setempat untuk menghormati hak asasi manusia, memenuhi komitmennya di Hong Kong dan mengakhiri penganiayaan terhadap etnis dan agama minoritas.
"Pembantaian Partai Komunis Tiongkok terhadap warga sipil Tiongkok yang tidak bersenjata adalah tragedi yang tidak akan dilupakan," kata Gedung Putih seperti dilansir Reuters, Jumat (5/6/2020).
Amerika Serikat (AS) mendesak pemerintah China untuk memenuhi komitmennya di bawah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris yang mengatur status Hong Kong, dan untuk “menegakkan hak dan kebebasan yang dijamin untuk semua warga negara Tiongkok di bawah konstitusi Tiongkok, dan mengakhiri sistematika penganiayaan terhadap jutaan etnis dan agama minoritas."
Perayaan penumpasan berdarah China tahun 1989 terhadap aktivis pro-demokrasi bertepatan dengan protes meluas di seluruh Amerika Serikat terhadap rasisme dan kebrutalan polisi.
Mereka protes atas pembunuhan seorang pria kulit hitam yang dalam tahanan petugas polisi Minneapolis berkulit putih.
Presiden AS Donald Trump telah mengancam akan melakukan militerisasi sebagai respons terhadap demonstrasi tersebut dengan mengatakan ia dapat mengerahkan militer di negara-negara bagian yang gagal menindak protes yang kadang-kadang menimbulkan kerusuhan.
"Orang-orang Amerika berdiri bersama dengan semua warga Tiongkok dalam pengejaran hak-hak dasar mereka, termasuk hak untuk pemerintahan yang bertanggung jawab dan representatif serta kebebasan berbicara, berkumpul, dan keyakinan agama," kata Gedung Putih.
40 Tahun Penjara
Empat anggota Polisi Minneapolis sudah ditahan atas kasus pembunuhan seorang pria kulit hitam, George Floyd (46).
Dakwaan terhadap mantan polisi Minneapolis Derek Chauvin, yang lututnya menindih leher George Floyd selama hampir sembilan menit pun ditingkatkan menjadi pembunuhan tingkat dua.
Sebelumnya Chauvin didakwa atas pembunuhan tingkat ketiga, atau pembunuhan tidak disengaja.
Berselang beberapa hari, Jaksa Minnesota mengumumkan status tiga polisi yang ikut bersama Chauvin dalam kasus pembunuhan Floyd.
Tiga rekan Chauvin itu langsung ditahan dan dipecat dari institusi kepolisian.
Mereka adalah Tou Thao (34), J. Alexander Kueng (26), dan Thomas Lane (37), didakwa membantu pembunuhan tingkat kedua.
Penangkapan tiga anggota polisi yang terlibat dalam kematian Floyd telah menjadi tuntutan yang gigih dari para demonstran selama sembilan hari, untuk mengutuk kebrutalan polisi dan menuntut keadilan.
Hukuman dalam dakwaan pembunuhan ini jauh lebih berat daripada hukuman maksimum untuk pembunuhan tingkat ketiga.
Chauvin terancam dipenjara 40 tahun, meningkat dari ancaman sebelumnya, yakni 25 tahun.
Tiga rekannya yang lain, Tou Thao, Thomas Lane, dan J Alexander Kueng juga terancam dengan hukuman yang sama.
"Saya yakin bukti yang kita miliki sekarang sangat menguatkan tuduhan pembunuhan tingkat kedua," kata Jaksa Agung Minnesota Keith Ellison, seperti dilansir Channel News Asia, Kamis (4/6/2020).
"Kami di sini, hari ini karena George Floyd tidak ada di sini, " Ellison menambahkan.
"Dia harus berada di sini. Dia harus hidup. Tapi tidak lagi," ucapnya.
Floyd tewas, setelah leher dan punggungnya ditindih lutut beberapa polisi, ketika dia ditangkap atas tuduhan menggunakan uang palsu di sebuah toko.
Floyd meninggal di rumah sakit sesaat setelah insiden fatal pada 25 Mei.
Kematian Floyd itu telah memicu kemarahan ribuan orang di AS dan dunia, sehingga turun ke jalanan untuk menyuarakan keadilan.
Para pengunjuk rasa menuntut kasus ini diperluas untuk juga menjerat semua anggota polisi yang ada di lokasi dan turut mengakibatkan kematian FLoyd.
"Jaksa Agung Minnesota Keith Ellison telah menaikkan dakwaan ke Derek Chauvin menjadi tingkat kedua dalam kasus pembunuhan George Floyd. Jaksa Agung juga mendakwa tiga polisi lainnya. Ini langkah penting bagi peradilan," ujar Senator AS untuk Minnesota, Amy Klobuchar.
Hasil Autopsi Independen: Tiga Polisi Lain Turut Serta Akibatkan Kematian Floyd
Dua dokter melakukan autopsi independen terhadap jenasah George Floyd, yang meninggal dalam tahanan polisi di Minneapolis dua pekan lalu dan memicu gelombang unjuk rasa di Amerika Serikat (AS).
Hasil autopsi menunjukkan bukan hanya polisi yang menindih leher Floyd, Derek Chauvin, menyebabkan kematian.
Namun ada sejumlah personil lainnya di lokasi kejadian yang turut menyebabkan kematian Floyd.
Video yang beredar menunjukkan Floyd memohon dan berulang kali mengatakan, 'ia tidak bisa bernapas' ketika seorang polisi Derek Chauvin terus menempelkan lututnya ke leher Floyd selama hampir sembilan menit.
Dua petugas lainnya juga menekan lutut mereka ke punggung Floyd.
Dr Michael Baden, yang juga mengambil bagian dalam autopsi independen atas permintaan dari keluarga Floyd, mengatakan, tindakan dua anggota polisi itu juga menyebabkan kematian Floyd.
Baden menambahkan ia tidak menemukan masalah kesehatan yang mendasar pada Floyd dan menyebabkan kematiannya.
-
Baca: Rupiah Dibuka Menguat ke Rp 14.075 per Dolar AS, Naik 0,14 Persen, Jumat 5 Juni 2020, Ini Alasannya
Baden berpengalaman dalam menangani kasus-kasus besar, termasuk kasus kematian 2014 lalu, Eric Garner, seorang pria kulit hitam yang meninggal setelah dicekik oleh polisi di New York.
"Banyak polisi punya kesan bahwa jika Anda dapat berbicara, itu berarti Anda sedang bernapas. Itu tidak benar, "kata Baden.
"Saya berbicara sekarang di depan Anda dan tidak bernapas," ucapnya sambil menirukannya.
Antonio Romanucci, salah satu pengacara yang mewakili keluarga Floyd, mendesak empat polisi yang berada di tempat kejadian harus juga didakwa dalam kasus yang sama. Jadi bukan hanya Chauvin.
"Tidak hanya lutut di leher George penyebab kematiannya, tapi begitu juga dua polisi lain yang melakukan hal yang sama di punggungnya, yang tidak hanya mencegah aliran darah ke dalam otaknya, tetapi aliran udara ke dalam paru-parunya," kata Romanucci.
"Karena itu semua petugas di TKP harus bertanggung jawab," tegasnya.
Hasil autopsi menyimpulkan, Floyd meninggal karena sesak napas lantaran leher dan punggungnya ditekan, sehingga tidak ada aliran darah ke otak. Sehingga tewasnya Floyd merupakan pembunuhan.
Hasil autopsi menunjukkan pria 46 tahun itu meninggal di tempat kejadian perkara (TKP).
Para dokter juga mengatakan Floyd tidak memiliki kondisi medis yang mendasar dan berkontribusi pada kematiannya.
Hal ini sungguh bertentangan dengan temuan awal autopsi resmi oleh Hennepin County Medical Examiner, yang dikutip dalam dokumen pengadilan, bahwa tidak ada bukti pencekikan traumatis.
Sebagaimana diketahui dari dokumen tuntutan, seorang anggota polisi kulit putih dihadapkan ke pengadilan karena melakukan aksi pembunuhan terhadap Floyd.
Polisi yang menindih leher Floyd, Derek Chauvin, kini sudah dipecat dan dituntut atas pembunuhan tingkat tiga dan pembantaian.
Hasil ini juga mengatakan penyakit arteri koroner dan hipertensi juga mungkin berkontribusi terhadap kematian Floyd.
Laporan autopsi lengkap dari daerah setempat belum dirilis.
"Bukti ini konsisten dengan asfiksia mekanik sebagai penyebab kematian dan pembunuhan sebagai cara kematian," kata Dr Allecia Wilson dari University of Michigan, salah satu dari dua dokter forensik yang melakukan autopsi independen.
Ben Crump, pengacara kepala dari keluarga Floyd, mengatakan autopsi independen dan bukti video memembuktikan, Floyd sudah tewas ketika ia masih berbaring di jalan dengan polisi di atasnya.
Keluarga Floyd juga meminta agar aksi protes kekerasan yang terjadi di Amerika Serikat untuk segera diakhiri.
"George meninggal karena ia membutuhkan napas, menghirup udara," kata Crump.
"Saya memohon Anda semua untuk bergabung dengan keluarganya dalam mengambil napas-mengambil napas untuk keadilan, mengambil napas untuk perdamaian". (Channel News Asia/Reuters/AFP/CNN)
Sebagian berita ini tayang di Kontan dengan judul: AS desak China hormati HAM di saat Trump ancam kerahkan militer ke para demonstran