Ia kena “prank” para Tiktoker kawula muda AS. Pemesanan daring tiket kampanye Trump membeludak, tapi yang datang hanya beberapa ribu saja. Stadion lebih banyak kosong.
Secara garis besar, Federal Reserve AS memperkirakan konflik dagang telah mengakibatkan hilangnya pekerjaan di antara produsen AS pada paruh pertama 2019.
Sementara Federal Reserve Bank of New York mengatakan perang perdagangan menghapus $ 1,7 triliun nilai transaksi yang terdaftar di AS selama dua tahun terakhir.
Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan mengatakan tarif AS yang lebih tinggi pada barang-barang Cina mengakibatkan penurunan 25 persen ekspor Cina ke AS.
Kerugian puluhan miliar dolar diderita perusahaan-perusahaan China. Kini, raksasa-raksasa bisnis AS yang sudah begitu lama menggantungkan industrinya ke pabrik di China, mulai hengkang.
Sejumlah industri otomotif AS, farmasi, kimia, permesinan, elektronik, IT, gadget seperti Apple Inc, punya ketergantungan cukup dalam terhadap manufaktur di Tiongkok.
Mata rantainya industri ini panjang dan tidak mudah, menyulitkan usaha reshoring atau memulangkan kembali ke AS, seperti tekad Trump sejak masa kampanye lalu.
Kerumitan ini memberi kesempatan China, memiliki keunggulan dibanding AS. Mereka sudah memiliki segalanya.
"Ketegangan perdagangan antara China daratan dan AS tampaknya telah meningkatkan, tidak menurunkan, ketergantungan pasar ketiga pada pasokan dari China daratan," tulis analisis raksasa perbankan global HSBC.
"China daratan terus meningkatkan pangsa pasar globalnya sebagai pemasok komponen elektronik, farmasi, dan otomotif," kata HSBC dalam catatan penelitian Juli yang dikirim ke Al Jazeera.
Pemenang dan pecundang
Tetapi secara lebih luas, penataan kembali ekonomi poros AS-Cina memaksa hampir setiap negara yang berurusan dengan mereka untuk memikirkan kembali apa yang mereka lakukan.
Beberapa negara Asia bisa menjadi penerima manfaat eksesk konfik ini. Frederic Neumann, Wakil Kepala Ekonom HSBC Asia mengatakan, China telah melampaui AS di kawasan Asia.
Ia memberi contoh, Malaysia, Singapura, Vietnam, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan dapat melihat peningkatan pendapatan yang signifikan pada 2030 dari keanggotaan mereka dalam dua perjanjian perdagangan bebas regional utama.