News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Analisis Editor

Kasus TikTok dan Huawei, Perang Dagang AS-China, dan Ancaman Bencana Global  

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI

China adalah pemain besar di blok itu, sedangkan AS tidak ikut. Bagi raksasa perbankan seperti HSBC dan Standard Chartered yang berbasis di London, mereka ternyata adaptif terhadap perubahan di Hongkong

Nah, sekarang TikTok, aplikasi berbagi video milik perusahaan China yang sangat populer di kalangan remaja di seluruh dunia, muncul di panggung utama perang Washington versus Beijing.

Trump menuduh pemiliknya, ByteDance, mengizinkan pemerintah China bisa mengkses data, mengumpulkan data privat pengguna TikTok di AS.

Tuduhan ini telah ditolak keras ByteDance. Raksasa teknologi AS Microsoft Corp milik Bill Gates, disuruh maju.

Jika TikTok sukses diambilalih, Trump berpikiran bisa memutus akses Beijing ke data sensitif warganya.

Editorial di surat kabar China Daily yang dikontrol Beijing, memprotes AS "menggertak" perusahaan teknologi China.

Sebenarnya tak hanya AS yang risau. India sudah lebih dulu memiliki masalah. India melarang hampir 59 aplikasi seluler China, termasuk TikTok.

Secara kebetulan, situasi itu dipertajam menyusul pecahnya perkelahian massal yang menewaskan puluhan tentara India di perbatasan China-India di Ladakh, Himalaya.

Pertempuran Melawan Huawei

Secara riil, serangan terhadap korporasi Huawei menjadi contoh paling sukses usaha perang bisnis yang dilakukan AS.

Perusahaan China itu dilaporkan memiliki jumlah paten tertinggi terkait peralatan yang menjalankan jaringan ponsel 5G generasi terbaru.

Taruhannya untuk 5G sangat besar. Firma riset IHS Markit memperkirakan pada 2035, teknologi 5G akan membantu menciptakan lebih dari 22 juta pekerjaan di seluruh dunia.

Teknologi inimenghasilkan output ekonomi senilai $ 13,2 triliun setiap tahunnya. Itu kira-kira jumlah yang dihabiskan konsumen AS tahun lalu, atau gabungan pengeluaran konsumen China, Jepang, Jerman, Inggris, dan Prancis pada 2018.

Upaya AS mengganjal Huawei terbukti berhasil. Kampanyenya, menuduh Huawei menggunakan perangkat teknologinya untuk mendapatkan data rahasia di negara lain.

Tuduhan ini juga sudah berkali-kali ditolak Huawei. Pemerintahan Trump pun telah melarang perusahaan telekomunikasi AS berbisnis dengan Huawei.

Trump juga menekan sekutu-sekutunya agar menghindari Huawei, ketika membangun jaringan 5G. Inggris sudah menjalankan instruksi Trump itu, meski sebelumnya ngotot melanjutkan kerjasama dengan Huawei.

Komisi Eropa semula memberi kelonggaran, tapi belakangan meminta anggotanya membuat diversifikasi pemasok 5G mereka, tanpa menyebut nama Huawei.

Nokia Finlandia dan Ericsson Swedia, mungkin akan mengambil peluang besar ini. Singapura, negara tetangga kita, sudah mengumumkan memilih perusahaan Eropa untuk jaringan 5G.

Ironisnya, Nokia dan Ericsson masih bergantung pada China untuk banyak komponen yang digunakan di peralatan jaringan mereka.

Mereka mengoperasikan pabrik yang mempekerjakan ribuan orang di China. Posisi ini memberi kesempatan China melakukan tindakan balasan yang menyulitkan.

Melihat risiko ini, Nokia dan Ericsson bisa saja merelokasi pabrik mereka di China. Tapi perlu biaya sangat signifikan.

Situasi lain, membangun jaringan 5G tanpa Huawei, bisa jauh lebih tinggi biayanya. Jika terlambat membangun jaringan 5G, dampak ekonominya bakal serius.

Peluang besar bisa terbang, akses dan arus informasi dan pengetahuan lintas batas terlambat, dan pasti berefek ke pertumbuhan ekonomi masing-masing negara.

Perdang dagang AS-China ini serius. Tapi ada yang lebih serius, yaitu konflik seputar pandemi global virus corona.

Trump terus menuduh China menutup-nutupi kemunculan virus ini, menghilangkan peluang dan kesempatan dirinya menyelamatkan ribuan nyawa penduduk Amerika.

Trump menarik AS keluar dari WHO, menyalahkannya karena lebih memihak China. Di mata Thomas J Christensen, analis senior Brookings Institute, dan mantan Wamenlu AS urusan Asia Timur dan Pasifik mengritik situasi ini.

"Menudingkan jari dan tuduhan yang didorong secara politis antara dua kekuatan utama dunia, hasilnya adalah bencana, terutama ketika virus menyebar ke negara-negara yang paling miskin di dunia,” tulis Christensen dikutip Azhar Sukri dari Aljazeera.

"China dan AS harus berperilaku seperti kekuatan besar yang percaya diri, tidak seperti pemain yang tidak aman dan tragis dalam drama Yunani kuno," lanjut Christensen.

Perang dagang jauh dari selesai. Bahkan baru dimulai di Laut China Selatan.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini