Sesudah pertemuan 1972, China benar-benar bangkit dari serpihan debu Revolusi Kebudayaan Mao Zedong.
Hari ini, China menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Mereka nyaris sudah tidak terisolasi seperti awal-awal Revolusi Kebudayaan, yang menciptakan istilah negeri “Tirai Bambu”.
Sangat sedikit, jika ada, negara-negara yang mengatakan mereka tidak terpengaruh China, baik secara politik, ekonomi, atau keduanya.
Indonesia, juga secara realistis dibanjiri produk manufaktur Tiongkok. Investasi China juga menderas dalam beberapa tahun terakhir.
Masuk di sektor infrastruktur, perbankan, perkebunan, pertambangan. Industri digital juga sulit dijauhkan dari faktor China.
Konstelasi sejauh ini di regional Asia Tenggara, secara bisnis ekonomi belum terpengaruh perang dagang kasar AS dan Cina.
Covid-19 yang sedikit banyak mengubah keadaan. Sisi lain, di Laut China Selatan, politik agak meningkat tensinya lewat unjuk kekuatan militer kedua super power ini.
Meski demikian, perkembangan signifikan pertempuran ekonomi AS-China memaksa sejumlah perusahaan besar berusaha mencari alternatif di luar China.
Jika semula masih pelan usahanya untuk memindahkan basis manufaktur, situasi terakhir memaksa banyak perusahaan bergerak cepat.
Vietnam, India, Thailand, dan Indonesia termasuk di antara tujuan pengalihan basis perusahaan asal AS maupun Eropa.
Eskalasi konflik China vs AS juga dipicu UU Keamanan yang diterapkan di Hongkong SAR. AS akhirnya mencabut privilese transaksi perdagangan dan perbankan untuk Hongkong.
Serangan bertubi-tubi dilancarkan AS, seperti menghukum beberapa orang China terkait dugaan pelanggaran HAM atas warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lain.
Dua yang terbaru, penutupan Konsulat China di Houston, yang langsung dibalas penutupan Konsulat AS di Chengdu.
Serta, geger aplikasi Tiktok. Trump sudah pernah merasakan getahnya secara langsung saat kampanye terbuka di Tulsa, Oklahoma.