TRIBUNNEWS.COM - Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang memberi waktu 45 hari kepada perusahaan TikTok untuk mencapai kesepakatan penjualan dengan Microsoft.
Seperti yang dilansir Daily Mail, Donald Trump deklarasikan darurat nasional TikTok pada Kamis (6/8/2020) malam dengan menandatangani perintah berjudul "Addressing the Threat Posed by TikTok" atau "Mengatasi Ancaman yang Ditimbulkan oleh TikTok."
Perintah tersebut melarang transaksi apapun, baik oleh individu maupun perusahaan, untuk berbisnis dengan induk perusahaan TikTok, yaitu ByteDance selama 45 hari setelah keluarnya perintah.
Baca: Facebook Hapus Unggahan Trump tentang Anak Kebal Covid-19, Juru Kampanye Ngotot Membela: Itu Fakta
Di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kemanan dan privacy tentang TikTok, Microsoft dikabarkan sedang melakukan pembicaran untuk mengakuisisi TikTok.
Perintah larangan yang dikeluarkan Trump bisa meningkatkan tekanan kepada ByteDance untuk segera menyepakati penjualan itu.
Sementara itu, perusahaan yang masih melakukan bisnis dengan ByteDance dalam kurun waktu 45 hari kedepan, akan diberikan sanksi, ujar Trump.
Jika penjualan belum mencapai kesepakatan hingga 20 September, Trump akan melarang penggunaan TikTok di seluruh AS.
Baca: Curhat Michelle Obama di Masa Pandemi, Akui Alami Depresi karena Kemunafikan Pemerintah Trump
Perintah larangan yang dikeluarkan Trump itu menuduh TikTok memanfaatkan kampanye disinformasi yang menguntungkan Partai Komunis China.
Larangan itu juga menyebut video TikTok telah menyebarkan teori konspirasi tentang asal usul virus corona Covid-19.
Bersamaan dengan perintah eksekutif tersebut, Trump mengirim surat kepada Ketua DPR dan Presiden Senat untuk menjelaskan langkah pelarangan tersebut.
Surat tersebut menyatakan bahwa TikTok 'secara otomatis membocorkan banyak informasi penggunanya'.
'Pengumpulan data ini berpotensi dimunginkannya Partai Komunis China mengakses informasi pribadi dan kepemilikan orang Amerika.'
'Hal itu juga berpotensi memungkinkan China untuk melacak lokasi karyawan dan kontraktor Federal, membuat berkas informasi pribadi untuk pemerasan, dan melakukan spionase perusahaan.'
Sementara itu, ByteDance membantah telah memborcorkan data pengguna dengan pemerintah China.
Media pemerintah China pun mengecam tanggapan AS terhadap TikTok sebagai 'kegilaan'.
Di bawah undang-undang China yang diperkenalkan pada 2017, perusahaan memiliki kewajiban untuk mendukung dan bekerja sama dengan pekerjaan intelijen nasional negara tersebut.
Pada hari Kamis, Senat AS dengan suara bulat menyetujui undang-undang yang melarang karyawan federal menggunakan TikTok pada perangkat yang dikeluarkan pemerintah.
"Saya didorong oleh dukungan bipartisan untuk meminta pertanggungjawaban Partai Komunis China dan itu termasuk ... meminta pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan yang hanya melakukan perintah China, " ujar Senator Josh Hawley, yang mensponsori RUU tersebut.
"Dan, jika ada yang ingin saya katakan tentang itu, kami tidak akan berhenti di sini," tambah senator Republik itu.
Baca: Bersihkan Aplikasi China, Pemerintahan Donald Trump: TikTok dan WeChat adalah Ancaman Signifikan
Baca: Kasus TikTok dan Huawei, Perang Dagang AS-China, dan Ancaman Bencana Global
Bulan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat memilih untuk melarang pegawai federal mengunduh aplikasi TikTok pada perangkat yang dikeluarkan pemerintah sebagai bagian dari proposal yang ditawarkan oleh Perwakilan Ken Buck.
Versi final dari RUU tersebut, yang menggabungkan versi DPR dan Senat, membutuhkan persetujuan Trump untuk menjadi undang-undang.
Microsoft telah memperluas pembicaraannya tentang TikTok yang mencakup pembelian operasi global dari TikTok, Financial Times melaporkan Kamis.
Microsoft menolak mengomentari laporan tersebut.
Sebelumnya, Microsoft mengungkapkan pihaknya sedang mempertimbangkan kesepakatan untuk operasi TikTok di AS, Kanada, Australia dan Selandia Baru.
Menurut laporan tersebut, Microsoft telah mengubah pandangannya karena kerumitan dalam memisahkan aplikasi yang membuatnya dapat dioperasikan secara global.
TikTok beroperasi di sekitar 150 negara dan diperkirakan memiliki satu miliar pengguna.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)