Sejatinya, Turki bergerak agresif semata karena pertimbangan pragmatis mempertahankan diri di kawasan. Fakto pemicunya, peran AS di Timur Tengah, terutama Irak dan Suriah, kian berkurang.
Analisis pakar itu dipublikasikan di laman Aljazeera.com, Kamis (6/8/2020). Marwan tak membantah, selama beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri Turki dirasakan di lingkungan sekitarnya.
Pada Juli 2020, setelah bentrokan militer Azerbaijan-Armenia di perbatasan, Ankara mengirim prajurit dan jet tempur. Kedua negara pekan-pekan ini menggelar latihan militer bersama.
Kehadiran militer Turki di Azerbaijan ini memperjelas posisi mereka mendukung sekutunya. Pada Mei, Turki secara terbuka menyokong Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) di Libya.
Militer mereka dikirimkan ke Tripoli untuk membantu GNA melawan kelompok Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Khalifa Haftar.
Tokoh ini memperoleh dukungan kuat Rusia, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Kelompok Haftar menguasai mayoritas wilayah Libya yang terjerumus perang saudara sesudah Khadaffi terdongkel.
Pada Februari 2020, Erdogan memerintahkan militernya masuk ke Provinsi Idlib, Suriah. Mereka melindungi kubu terakhir yang ditempati kelompok-kelompok bersenjata musuh Damaskus.
Baca: 33 Tentara Turki Tewas dalam Serangan Udara Suriah di Idlib
Baca: Turki Tembak Jatuh 2 Jet Tempur Suriah di Idlib, Tidak Ada yang Terluka
Baca: Rusia dan Turki Tandatangani Perjanjian Gencatan Senjata di Idlib, Keadaan Lebih Tenang
Menurut Marwan Kabalan, terlihat kebijakan luar negeri Turki telah mengayun dari Ankaraa ke Balkan barat dan Kaukasus, ke Teluk hingga sampai Tanduk Afrika.
Ini yang menurut Marwan menguatkan pandangan sejumlah analis kebijakan Turki sebagai ambisi "neo-Ottoman" untuk hegemoni regional.
(Tribunnews.com)