TRIBUNNEWS.COM - Markas besar Departemen Angkatan Darat AS membuat laporan terbaru yang berjudul ‘Taktik Korea Utara’.
Diyakini, Korea Utara memiliki antara 20 dan 60 bom nuklir, serta 2.500 hingga 5.000 ton persediaan 20 jenis senjata kimia.
Menurut laporan yang dikutip dari New York Post, Korea Utara disebut sebagai pemilik senjata kimia terbesar ketiga di dunia.
Sementara, kantor berita Yonhap Korea Selatan menambahkan, Pyongyang tidak mungkin menyerahkan senjata yang dimiliki untuk mencegah perubahan rezim.
“Perkiraan senjata nuklir Korea berkisar antara 20-60 bom, dengan kemampuan untuk menghasilkan enam perangkat baru setiap tahun,” kata Angkatan Darat AS.
Baca: Mirip Adegan Drakor Crash Landing On You, 3 Tentara Korut Dikabarkan Dihukum karena Menari Lagu BTS
Baca: Kim Jong Un Pamer Mobil Rp 3,36 M, Bukti Larangan Impor Barang Mewah Tak Berlaku Bagi Penguasa Korut
Mereka juga mencatat bahwa beberapa laporan menyatakan, rezim jahat data memperoleh sebanyak 100 bom pada aluir 2020.
“Korea Utara membutuhkan senaat nuklir karena para pemimpinnya mengira ancaman serangan nuklir akan mencegah negara lain mempertimbangkan perubahan rezim,” kata militer AS.
Laporan itu juga menunjukkan Kim Jong Un menyaksikan kasus Moammar Gaddafi dari Libya dan “tidak ingin hal serupa terjadi di Korea Utara”.
“Sangat mungkin, bahwa militer Korea Utara akan menggunakan peluru artileri kimin,” kata laporan itu.
“Korea Utara muntkin ‘memasang’ antraks atau cacar yagn dapat dipasang pada rural untuk digunakan melaram Korea Selatan, AS dan Jepang,” tambah laporen itu.
Korea Herald melaporkan, satu kilo antraks dapat membunuh hingga 50.000 orang di ibu kota Korea Selatan, Seoul, rumah bagi semira 10 juta orang.
Baca: POPULER INTERNASIONAL: Ekonomi Korut Tumbuh Positif saat Pandemi | Mesir Terima Jet Su-35 dari Rusia
Baca: Korea Selatan Jatuh ke Jurang Resesi, Ekonomi Korut Justru Tumbuh Positif
Kejadian yang Terjadi di Korea Utara Belum Lama Ini
Sebelumnya diberitakan, Kim Jong Un dikabarkan mengadakan pertemuan dengan partai kunci, pertama kalinya dalam delapan bulan terakhir pada Rabu (19/8/2020).
Pertemuan tersebut bertujuan membahas masalah-masalah ‘sangat penting’, mengingat negara tertutup itu masih menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS).