TRIBUNNEWS.COM, HONGKONG – Militer China menembakkan dua rudal, termasuk satu yang dijuluki "penghancur kapal induk", ke Laut China Selatan.
Aksi tembak itu merupakan peringatan yang diarahkan ke Amerika Serikat di saat ketegangan di jalur laut yang disengketakan meningkat ke level yang baru.
South China Morning Post melaporkan pada Kamis (27/8/2020). Beijing menembakkan satu rudal balistik jarak menengah, DF-26B, dari Provinsi Qinghai dan rudal balistik jarak menengah lainnya, DF-21D, dari Provinsi Zhejiang.
Penembakan terjadi Rabu (26/8/2020) sebagai tanggapan atas kehadiran pesawat mata-mata U-2 milik udara AS di "zona larangan terbang" China.
Menanggapi aksi China ini, Menteri Pertahanan AS Mark Esper menuduh China telah berulang kali gagal memenuhi janji untuk mematuhi hukum internasional.
Mark Esper menambahkan AS memiliki tanggung jawab untuk memimpin di Pasifik dan tidak akan menyerah sedikit pun kepada negara-negara lain yang menganggap sistem politik mereka lebih baik.
Menurut Esper, China tidak memenuhi janji untuk mematuhi hukum, aturan, dan norma internasional, dan Beijing ingin memproyeksikan kekuatannya secara global.
"Untuk memajukan agenda PKT, Tentara Pembebasan Rakyat terus mengejar rencana modernisasi agresif untuk mencapai militer kelas dunia pada pertengahan abad ini," kata Esper.
"Ini pasti akan melibatkan perilaku provokatif PLA di Laut China Selatan dan Timur, dan di mana pun yang dianggap penting oleh pemerintah China untuk kepentingannya," lanjutnya.
Kedua rudal tersebut menurut SCMP ditembakkan ke arah daerah antara Provinsi Hainan dan Kepulauan Paracel yang disengketakan.
Baca: AS Terbangkan Pesawat Mata-mata U-2 ke Zona Latihan Tempur di China Utara
Baca: Kapal Induk Angkatan Laut AS Lakukan Latihan di Laut China Selatan
Baca: China Resah dengan Ulah Pesawat Mata-mata Amerika di Laut China Selatan
Koran milik raksasa e-commerce Ali Baba yang berbasis di Hong Kong, mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya.
Menurut surat kabar tersebut, sebuah pesawat mata-mata U-2 AS dilaporkan tanpa izin memasuki "zona larangan terbang" yang ditunjuk China.
Zona itu dibuat karena wilayah daratannya dipakai untuk latihan tempur angkatan laut di lepas pantai utara Hainan.
Dalam sebuah posting media sosial, Dubes China untuk Inggris Liu Xiaoming, mengatakan langkah AS "sangat mengganggu" latihan militer China.
Zhao Lijian, juru bicara kementerian luar negeri China, menggambarkan penerbangan pesawat mata-mata itu sebagai "tindakan provokatif" dan mendesak AS untuk berhenti.
“Militer China tidak akan menari mengikuti irama AS, atau membiarkan Amerika Serikat menimbulkan masalah,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan China Wu Qian, Kamis.
Wu Qian, sebelumnya dikutip mengatakan rudal itu dapat membawa hulu ledak konvensional atau nuklir dan mampu meluncurkan serangan presisi ke target darat dan laut.
Berjangkauan 4.500 km (2.800 mil), rudal DF-26 dapat mencapai Pasifik Barat dan Samudra Hindia, serta fasilitas Amerika di Guam, Pulau Diego Garcia di Inggris, dan bahkan kota Darwin di Australia.
Rudal DF-21 telah digambarkan sebagai sistem rudal balistik anti-kapal, juga dimaksudkan untuk menyerang kapal yang bergerak di laut.
Di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua militer, dia mengatakan China berharap AS dapat mengambil langkah-langkah praktis menciptakan suasana positif.
Rudal DF-26B, yang secara resmi diluncurkan awal bulan ini, mampu mencapai target bergerak di laut, menjadikannya "penghancur kapal induk", menurut media Global Times milik pemerintah China.
Pada Juli, dua pesawat AS melakukan latihan navigasi dan latihan militer bersama sekutunya di Laut China Selatan, memicu kemarahan Beijing.
Berbicara dengan syarat anonim kepada Reuters, seorang pejabat AS mengkonfirmasi penembakan kedua rudal China tersebut.
Ia menambahkan penilaian komprehensif sedang dilakukan untuk menentukan jenis rudal yang diluncurkan China.
Pentagon, mengonfirmasi penerbangan U-2, dan menambahkan aktivitas di kawasan Pasifik berada dalam aturan dan regulasi internasional yang diterima yang mengatur penerbangan pesawat.
Berita peluncuran rudal balistik China ini bersamaan dengan keputusan AS memasukkan 24 perusahaan China ke daftar hitam mereka.
Para individu itu oleh AS dituduh terlibat konstruksi dan operasi pembangunan instalasi militer di Laut China Selatan.
Departemen Perdagangan AS mengatakan dua lusin perusahaan itu memainkan peran dalam membantu militer China membangun dan memiliterisasi pulau-pulau buatan yang dikutuk secara internasional di Laut China Selatan.
Secara terpisah, Departemen Luar Negeri AS mengatakan akan memberlakukan pembatasan visa pada individu China yang bertanggung jawab, atau terlibat.
Pada Juli, Washington mengatakan bias menjatuhkan sanksi kepada pejabat dan perusahaan China yang terlibat masalah di di Laut China Selatan.(Tribunnews.com/Aljazeera.com/xna)