TRIBUNNEWS.COM - Para pengunjuk rasa Thailand memberi hormat tiga jari saat lagu kebangsaan dimainkan di semua sudut Kota Bangkok, Selasa (20/10/2020).
Sampai Selasa, aksi demonstrasi anti-pemerintah masih terus bergulir di ibu kota Thailand ini.
Bahkan pemerintah juga memerintahkan saluran TV online untuk menghentikan liputannya tentang aksi, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera.
Pihak berwenang memberlakukan tindakan pelarangan berkerumun lebih dari empat orang sejak Kamis lalu.
Kebijakan ini dirilis karena tensi demo anti-pemerintah dan monarki kian meningkat.
Baca juga: Polisi di Thailand Selidiki Media atas Liputan Protes, Diduga Ada Konten yang Pengaruhi Keamanan
Baca juga: Terima Wisatawan Asing, Thailand Resmi Buka Pariwisata Setelah 7 Bulan Terhenti Akibat Pandemi
Sayangnya meski tindakan represif hingga penangkapan puluhan peserta demo sudah dilakukan, penolakan masyarakat justru makin menjadi.
Dua pentolan aksi anti-pemerintah yakni Parit "Penguin" Chiwarak dan Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul ditangkap pada Selasa.
Sempat dibebaskan dari pengadilan, mereka mendapat tuduhan baru terkait aksi demonstrasi.
"Ini bukan protes tanpa pemimpin, tapi semua orang adalah pemimpin,” kata Tattep "Ford" Ruangprapaikitseree kepada wartawan di mal Siam Paragon.
Kabinet Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menyetujui sesi darurat parlemen minggu depan karena krisis ini.
Namun dia mengatakan tidak akan mundur seperti permintaan pengunjuk rasa.
Pendukung Prayuth memiliki mayoritas di parlemen.
Para pengunjuk rasa juga menginginkan perubahan pada konstitusi dan pengurangan kekuasaan monarki di bawah Raja Maha Vajiralongkorn.
Sebelumnya, pengadilan memerintahkan penangguhan Voice TV, saluran TV online yang kerap mengritik pemerintah.
Voice TV dinilai melanggar UU Kejahatan Komputer karena mengunggah informasi palsu, jelas jubir Kementerian Digital Putchapong Nodthaisong.
Pemimpin Redaksi Voice TV, Rittikorn Mahakhachabhorn mengatakan akan terus mengudara sampai perintah pengadilan tiba.
"Kami bersikeras bahwa kami telah beroperasi berdasarkan prinsip jurnalistik dan kami akan melanjutkan pekerjaan kami sekarang," katanya.
Voice TV adalah satu dari empat organisasi media yang diselidiki karena liputan mereka tentang gerakan protes yang terus berlanjut.
Banyak yang melaporkan protes secara langsung di Facebook dan platform media sosial lainnya.
Baca juga: 3 Bulan Didemo Masyarakat, Begini Sosok Raja Thailand: Punya 20 Selir dan Aset Triliunan Rupiah
Baca juga: Situasi Terbaru Thailand: Demo Kian Panas, 4 Kantor Media Diinvestigasi, Investor Mulai Angkat Kaki
Voice TV sebagian dimiliki keluarga mantan PM Thaksin Shinawatra dan saudara perempuannya Yingluck.
Thaksin digulingkan kekuasaannya oleh PM Prayuth Chan-ocha pada kudeta 2014 silam.
Keduanya kabur dari Thailand untuk meloloskan diri dari kasus korupsi yang mereka anggap sebagai politik.
Perdana menteri pada Selasa lalu menuduh media menyebarkan berita palsu.
"Kebebasan media penting tetapi dalam beberapa kasus ada beberapa outlet media yang menyebarkan informasi yang menyimpang yang memicu keresahan," katanya.
Keputusan pengadilan dikeluarkan sehari setelah Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital mengklaim sudah menandai lebih dari 325.000 pesan di media sosial yang melanggar UU Kejahatan Komputer.
UU ini dinilai para kritikus digunakan untuk memberantas perbedaan pendapat.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)