News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Buntut Demonstrasi Anti-Pemerintah Thailand, TV Online Diberedel agar Tak Meliput Aksi

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aktivis berdemonstrasi dalam solidaritas dengan protes pro-demokrasi yang sedang berlangsung di Thailand, di luar gedung kantor tempat konsulat Thailand berada di Hong Kong, pada hari Senin.

TRIBUNNEWS.COM - Para pengunjuk rasa Thailand memberi hormat tiga jari saat lagu kebangsaan dimainkan di semua sudut Kota Bangkok, Selasa (20/10/2020).

Sampai Selasa, aksi demonstrasi anti-pemerintah masih terus bergulir di ibu kota Thailand ini.

Bahkan pemerintah juga memerintahkan saluran TV online untuk menghentikan liputannya tentang aksi, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera

Pihak berwenang memberlakukan tindakan pelarangan berkerumun lebih dari empat orang sejak Kamis lalu.

Kebijakan ini dirilis karena tensi demo anti-pemerintah dan monarki kian meningkat.

Baca juga: Polisi di Thailand Selidiki Media atas Liputan Protes, Diduga Ada Konten yang Pengaruhi Keamanan

Baca juga: Terima Wisatawan Asing, Thailand Resmi Buka Pariwisata Setelah 7 Bulan Terhenti Akibat Pandemi

Polisi Thailand menyemprotkan water cannon (meriam air) kepada para pengunjuk rasa damai pro-demokrasi di Bangkok pada (Jumat (16/10/2020). (Twitter Pravit Rojanaphruk)

Sayangnya meski tindakan represif hingga penangkapan puluhan peserta demo sudah dilakukan, penolakan masyarakat justru makin menjadi.

Dua pentolan aksi anti-pemerintah yakni Parit "Penguin" Chiwarak dan Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul ditangkap pada Selasa.

Sempat dibebaskan dari pengadilan, mereka mendapat tuduhan baru terkait aksi demonstrasi.

"Ini bukan protes tanpa pemimpin, tapi semua orang adalah pemimpin,” kata Tattep "Ford" Ruangprapaikitseree kepada wartawan di mal Siam Paragon.

Kabinet Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menyetujui sesi darurat parlemen minggu depan karena krisis ini.

Namun dia mengatakan tidak akan mundur seperti permintaan pengunjuk rasa.

Pendukung Prayuth memiliki mayoritas di parlemen.

Para pengunjuk rasa juga menginginkan perubahan pada konstitusi dan pengurangan kekuasaan monarki di bawah Raja Maha Vajiralongkorn.

Sebelumnya, pengadilan memerintahkan penangguhan Voice TV, saluran TV online yang kerap mengritik pemerintah.

Voice TV dinilai melanggar UU Kejahatan Komputer karena mengunggah informasi palsu, jelas jubir Kementerian Digital Putchapong Nodthaisong.

Pemimpin Redaksi Voice TV, Rittikorn Mahakhachabhorn mengatakan akan terus mengudara sampai perintah pengadilan tiba.

"Kami bersikeras bahwa kami telah beroperasi berdasarkan prinsip jurnalistik dan kami akan melanjutkan pekerjaan kami sekarang," katanya.

Voice TV adalah satu dari empat organisasi media yang diselidiki karena liputan mereka tentang gerakan protes yang terus berlanjut.

Banyak yang melaporkan protes secara langsung di Facebook dan platform media sosial lainnya.

Foto yang diambil dan dirilis pada 15 Oktober 2020 oleh Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia menunjukkan pemimpin mahasiswa Thailand Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul ditangkap oleh polisi dari kamar hotelnya di Bangkok setelah pemerintah memberlakukan keputusan darurat. Pemerintah Thailand mengumumkan keadaan darurat yang melarang pertemuan lebih dari empat orang dan melarang posting online yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional pada 15 Oktober dalam upaya untuk mengakhiri protes pro-demokrasi yang membara. (Handout / AFP)

Baca juga: 3 Bulan Didemo Masyarakat, Begini Sosok Raja Thailand: Punya 20 Selir dan Aset Triliunan Rupiah

Baca juga: Situasi Terbaru Thailand: Demo Kian Panas, 4 Kantor Media Diinvestigasi, Investor Mulai Angkat Kaki

Voice TV sebagian dimiliki keluarga mantan PM Thaksin Shinawatra dan saudara perempuannya Yingluck.

Thaksin digulingkan kekuasaannya oleh PM Prayuth Chan-ocha pada kudeta 2014 silam.

Keduanya kabur dari Thailand untuk meloloskan diri dari kasus korupsi yang mereka anggap sebagai politik.

Perdana menteri pada Selasa lalu menuduh media menyebarkan berita palsu.

"Kebebasan media penting tetapi dalam beberapa kasus ada beberapa outlet media yang menyebarkan informasi yang menyimpang yang memicu keresahan," katanya.

Keputusan pengadilan dikeluarkan sehari setelah Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital mengklaim sudah menandai lebih dari 325.000 pesan di media sosial yang melanggar UU Kejahatan Komputer.

UU ini dinilai para kritikus digunakan untuk memberantas perbedaan pendapat.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini