News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres Amerika Serikat

Analisa Pilpres AS: 4 Faktor Kunci di Balik Tumbangnya Donald Trump, sang Petahana

Penulis: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi.

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Pasangan Joe Biden dan Kamala Harris memang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2020.

Setelah hampir 50 tahun memegang jabatan publik, dan ambisi seumur hidup untuk menjadi presiden, Joe Biden akhirnya akan jadi orang no 1 di Amerika Serikat.

Ini bukanlah kampanye yang diprediksi siapa pun. Dan terjadi di tengah pandemi sekali-dalam-satu abad serta kerusuhan sosial yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Ia mencalonkan diri melawan petahana yang tidak konvensional dan menentang preseden.

Tetapi dalam ikhtiar ketiganya untuk menjadi presiden, Biden dan timnya menemukan cara untuk melalui berbagai rintangan politik dan meraih kemenangan yang, meskipun tipis dalam penghitungan suara elektoral, diproyeksikan melampaui perolehan suara nasional Trump hingga jutaan suara.

Bagaimana Biden bisa memenangkan pertarungannya melawan petahana? Apa kunci kemenangan putra seorang penjual mobil asal Delaware sehingga bisa mendapat "tiket" masuk ke Gedung Putih?

1. Kampanye sederhana

Sepanjang karier politiknya, Biden mendapat reputasi sebagai politikus yang sering salah bicara.

Kesalahan-kesalahan itu menjadi salah satu faktor yang menggagalkan kampanye pemilihan presidennya pada tahun 1987 dan 2008.

Dalam ikhtiar ketiganya untuk Ruang Oval, Biden masih beberapa kali salah omong, tapi kesalahan itu tidak begitu sering sehingga tidak pernah menjadi masalah jangka panjang.

Sebagian dari penjelasan untuk ini, tentu saja, adalah bahwa Presiden Trump sendiri adalah sumber berita yang tak henti-hentinya.

Faktor lain adalah ada cerita yang lebih besar - pandemi virus corona, aksi protes menyusul kematian pria kulit hitam George Floyd, dan masalah ekonomi - yang mendominasi perhatian nasional.

Tetapi setidaknya beberapa pujian perlu diberikan pada strategi kampanye Biden untuk membatasi eksposur kandidat mereka, menjaga tempo dalam kampanye, dan meminimalkan risiko masalah akibat kelelahan atau kecerobohan.

Barangkali dalam situasi pemilihan biasa, ketika kebanyakan rakyat Amerika tidak khawatir akan paparan virus, strategi ini akan menjadi bumerang. Mungkin dalam situasi itu ejekan "hidin 'Biden" dari Trump akan efektif.

Namun tim kampanye Biden berusaha untuk tetap tenang dan membiarkan mulut Trump mengkhianati dirinya sendiri - dan, pada akhirnya, strategi itu berbuah manis.

2. Covid

Jajak pendapat menunjukkan masyarakat lebih percaya Biden daripada Trump dalam hal penanganan Covid-19.

Barangkali alasan terbesar Biden memenangkan kursi kepresidenan adalah satu hal yang sepenuhnya di luar kendalinya.

Pandemi virus corona, selain merenggut lebih dari 230.000 nyawa, juga telah mengubah kehidupan dan politik Amerika pada tahun 2020.

Dan pada hari-hari terakhir kampanye pemilu, Donald Trump sepertinya juga mengakui hal tersebut.

"Dengan beredarnya berita palsu, semuanya adalah Covid, Covid, Covid, Covid," kata presiden pada pawai pekan lalu di Wisconsin, tempat kasus Covid-19 telah melonjak dalam beberapa hari terakhir.

Bagaimanapun, fokus media pada Covid lebih merupakan cerminan daripada pendorong kekhawatiran publik tentang pandemi - terlihat dalam hasil jajak pendapat tentang penanganan krisis yang tidak menguntungkan sang presiden.

Sebuah jajak pendapat bulan lalu oleh Pew Research menunjukkan Biden mendapat 17 poin persentase lebih unggul dari Trump dalam hal kepercayaan atas cara mereka menangani wabah Covid.

Pandemi, dan kemerosotan ekonomi yang menyusulnya, membuat Trump harus melepas pesan kampanye pilihannya tentang pertumbuhan dan kemakmuran.

Ia juga menyoroti kekhawatiran banyak rakyat Amerika atas kepresidenannya, atas kurangnya fokus, kecenderungan untuk mempertanyakan sains, kesembronoan dalam menangani kebijakan-kebijakan besar maupun kecil, dan prioritas untuk politik partisan.

Pandemi telah mengikis kepopuleran Trump, yang menurut Gallup, turun menjadi 38% pada satu titik di musim panas - hal yang dimanfaatkan oleh tim kampanye Biden.

3. Pokoknya jangan Trump

Sepekan sebelum hari pemilihan, kampanye Biden menayangkan iklan televisi terakhirnya dengan pesan yang serupa dengan yang ditawarkan pada awal kampanyenya tahun lalu, dan pidato pencalonannya pada bulan Agustus.

Pemilihan ini adalah "pertarungan untuk jiwa Amerika", ujarnya, dan kesempatan bagi bangsa untuk meninggalkan hal yang ia gambarkan sebagai keterpecah-belahan dan kekacauan dalam empat tahun terakhir.

Namun di balik slogan tersebut ada hitung-hitungan sederhana. Biden mempertaruhkan keberuntungan politiknya pada anggapan bahwa Trump terlalu mempolarisasi dan meledak-ledak, dan apa yang dibutuhkan Amerika ialah kepemimpinan yang lebih tenang dan stabil.

"Pokoknya saya lelah dengan sikap Trump sebagai pribadi," kata Thierry Adams, warga asli Prancis yang setelah 18 tahun tinggal di Florida memberikan suara untuk pertama kali dalam pemilihan presiden di Miami pekan lalu.

Demokrat sukses menjadikan pemilihan ini referendum untuk Trump, bukan pilihan biner antara kedua kandidat.

Pesan kemenangan Biden sederhana saja: Ia "bukan Trump". Komentar umum dari Demokrat ialah kemenangan Biden berarti rakyat Amerika bisa rehat dari memikirkan politik selama berminggu-minggu. Itu dimaksudkan sebagai kelakar, tapi ada benarnya juga.

4. Tetap di tengah

Selama kampanye untuk menjadi kandidat Demokrat, Biden bersaing dengan kandidat-kandidat 'kiri' seperti Bernie Sandres dan Elizabeth Warren, keduanya menjalankan kampanye yang didukung dengan dana dan organisasi yang baik dan menarik perhatian banyak orang.

Kendati mendapat tekanan dari sisi liberal, Biden tetap mengambil posisi tengah, menolak untuk mendukung gagasan jaminan kesehatan nasional, kuliah gratis, atau pajak kekayaan.

Ini memungkinkan ia untuk memaksimalkan daya tarik untuk kelompok moderat dan pendukung Republik yang tidak puas selama kampanye pemilu.

Strategi ini tercermin dalam keputusan Biden memilih Kamala Harris sebagai cawapres, padahal sebenarnya ia bisa memilih sosok yang lebih didukung oleh sayap kiri partai.

Isu di mana posisi Biden lebih dekat dengan Sanders dan Warren ialah isu lingkungan dan perubahan iklim - barangkali memperhitungkan bahwa keuntungan yang didapat dari menarik simpati pemilih muda sepadan dengan risiko mengalienasi para pemilih di negara bagian kunci yang bergantung pada energi fosil. Tapi ini satu pengecualian yang membuktikan keseluruhannya.

"Bukan rahasia bahwa kami kritis terhadap rencana dan komitmen Biden ketika ia menjabat wakil presiden," kata Varshini Prakash, pendiri kelompok aktivis lingkungan Sunrise Movement pada Juli lalu.

"Ia merespons banyak kritik itu; secara besar-besaran meningkatkan skala dan urgensi investasi, menjabarkan detail langkah-langkahnya untuk mencapai keadilan lingkungan dan menciptakan pekerjaan serikat yang baik, serta menjanjikan tindakan segera."

Trump bakal diceraikan?

Kalah di Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kabarnya akan diceraikan istri muda Melania Trump.

Seorang mantan pejabat Gedung Putih mengeklaim bahwa Melania yang saat ini masih berstatus Ibu Negara Amerika Serikat berencana mengakhiri "pernikahan transaksional"-nya selama 15 tahun dengan Presiden AS Donald Trump.

Melansir Daily Mail, Melania menghitung setiap menitnya sampai dia berhasil keluar dari Gedung Putih dan bercerai dengan Trump.

Mantan Direktur Komunikasi Gedung Putih untuk Hubungan Publik, Omarosa Manigault Newman mengatakan bahwa alasan Melania enggan pergi selama Trump menjabat karena Trump dapat menemukan cara untuk bisa 'menghukumnya'.

Selain Daily Mail, media terkemuka seperti The Sunday Times juga mengangkat isu ini.

Baca juga: 5 Alasan Utama Joe Biden Menangkan Pilpres AS, Termasuk Karena Dianggap Sederhana

Terlepas dari rumor yang beredar itu dan momen 'dingin' keduanya di depan umum, Melania mengeklaim bahwa dia memiliki 'hubungan hebat' dengan suaminya.

Trump sendiri selalu menegaskan bahwa hubungannya dengan Melania bahkan tidak pernah diwarnai perselisihan.

Kembali pada pemilihan presiden 2016 silam, Melania Trump sempat terkenal dengan rumor yang mengatakan bahwa dia menangis ketika suaminya menang.

Seorang teman dekat Melania mengatakan tangisannya karena wanita itu berharap Trump tidak pernah memenangkan kursi kepresidenan.

Sebelum pindah ke Washington, Melania masih berada di New York selama 5 bulan, diduga karena putranya dengan Trump, Barron perlu menyelesaikan masa studi di sana.

Namun, dugaan itu berbeda dengan klaim mantan ajudan bernama Stephanie Wolkoff yang mengatakan bahwa Melania pada saat itu sedang merundingkan perjanjian pasca pernikahan untuk memberi Barron warisan yang setara dari kekayaan Trump.

Sumber: Kompas.com/BBC

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini