TRIBUNNEWS.COM - Ribuan orang mengikuti aksi unjuk rasa atau demonstrasi (demo) di parlemen Thailand, Selasa (17/11/2020) kemarin.
Dalam aksi tersebut demonstran menyerukan reformasi konstitusional dalam sistem pemerintahan yang dinilai telah mengarah pada kekuatan militer.
Demonstran juga menginginkan pencopotan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, mantan penguasa militer, dan mengekang kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn.
"Saya dengan ini mengumumkan eskalasi protes. Kami tidak akan menyerah. Tidak akan ada kompromi," kata aktivis sosial Pharit Chiwarak alias Penguin dalam kerumunan demonstran.
Dilaporkan Channel News Asia, aksi demo diwarnai bentrokan antara demonstran dengan polisi.
Bahkan bentrokan itu disebut menjadi kekerasan terburuk sejak gerakan protes dimulai pada Juli lalu.
Baca juga: PM Thailand Prayuth Chan-ocha Nyatakan Tak akan Mengundurkan Diri
Baca juga: Video Viral, Raja Thailand Puji Pendemo Pro-Monarki, Hal yang Sangat Jarang Terjadi
Pusat Medis Erawan Bangkok melaporkan, setidaknya ada 55 orang yang terluka karena bentokan itu.
Yang mana 32 di antaranya terkena gas air mata, dan enam orang mengalami luka tembak.
Polisi menembakkan meriam air dan gas air mata ke demonstran yang memotong barikade kawat dan menghilangkan beton di pagar parlemen.
Namun demikian, polisi membantah tuduhan bahwa mereka yang telah melepaskan tembakan dengan peluru tajam atau peluru karet.
"Kami berusaha menghindari bentrokan," kata Wakil Kepala Polsisi Bangkok Piya Tavichai.
Diakui Piya Tavichai, polisi memang mendorong demonstran dari parlemen, tetapi hal itu dilakukan untuk memisahkan mereka dari ratusan pengunjuk rasa yang mengenakan kaos kuning.
Untuk itu, polisi akan berupaya menyelidiki siapa yang mungkin menggunakan senjata api.
Sementara itu, ratusan demonstran pendukung pemerintah Thailand yang mengenakan kaos kuning meminta anggota parlemen untuk tidak membuat perubahan konstitusional.
"Mengubah konstitusi akan mengarah pada penghapusan monarki," kata pemimpin pendukung Warong Dechgitvigrom kepada wartawan.
Untuk diketahui, Perdana Menteri Prayut mengambil alih kekuasaan pada 2014 dan tetap menjabat setelah pemilihan umum tahun lalu.
Ia menampik tudingan oposisi bahwa pemilu tidak adil.
Dikatakan Prayut, anggota parlemen kini sedang membahas beberapa proposal untuk perubahan konstitusional, yang sebagian besar akan mengecualikan kemungkinan mengubah peran monarki.
Ada juga diskusi tentang peran Senat majelis tinggi, yang membantu memastikan bahwa ia mempertahankan kekuasaan dengan mayoritas parlemen setelah pemungutan suara yang disengketakan tahun lalu.
Baca juga: Thailand Buka Perbatasan untuk Turis Asing, Sudah Bisakah WNI Berkunjung ke Sana?
Baca juga: Kementerian Keuangan Thailand Pinjam 1,5 Miliar Dolar AS dari ADB untuk Perangi Covid-19
(Tribunnews.com/Rica Agustina)