News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres Amerika Serikat

Mantan Penasihat Keamanan Nasional AS Khawatir Trump Pecat Banyak Pejabat Jelang Transisi

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden AS Donald Trump setelah menyampaikan update tentang Operation Warp Speed di Rose Garden Gedung Putih di Washington, DC pada 13 November 2020.

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Mantan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) John Bolton memprediksi akan ada lebih banyak slip merah muda yang mungkin akan dikeluarkan Presiden Donald Trump jelang masa transisi.

Pernyataan itu disampaikannya dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post pada Rabu waktu setempat.

Baca juga: Dibalik Adegan Ikonik Donald Trump di Film Home Alone 2, Ternyata Ada Sebuah Pemaksaan Ini

"Yang saya khawatirkan adalah bahwa ada daftar musuh di Gedung Putih yang masih harus disingkirkan, dan masih banyak lagi. Mungkin ada daftar itu dalam kepala Donald Trump, saya khawatir ia menuliskannya," kata Bolton.

Dikutip dari laman Sputnik News, Kamis (19/11/2020), mantan pejabat administrasi Trump ini juga menyatakan bahwa 'memecat' adalah hobi buruk dari mantan bosnya yang sebelumnya juga telah 'membuang' Christopher Krebs.

Krebs sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur Keamanan Siber Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.

Saat itu, Krebs diberikan slip merah jambu pada hari Selasa lalu, Trump menjelaskan melalui akun Twitternya bahwa pejabat keamanan dunia maya AS tersebut telah memberikan pernyataan yang sangat tidak akurat mengenai keamanan pemilihan presiden AS.

Trump juga menuding adanya ketidakwajaran dan penipuan besar-besaran dalam Pemilu AS 2020.

Namun sebelumnya pada hari yang sama, Krebs telah membantah klaim adanya penipuan surat suara dan mengatakan tidak ada bukti campur tangan pihak lain dalam agenda pemilihan itu.

Sebelum pemilihan yang dilangsungkan 3 November lalu, Trump dan sekutunya berulang kali membantah keabsahan surat suara.

Trump juga kerap menggunakan jejaring sosial Twitter untuk mendiskreditkan opsi pemungutan suara dan mendesak para pendukungnya untuk menyerahkan surat suara mereka secara langsung di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

Menyusul hasil yang diproyeksikan pada Pemilu AS 2020 dengan kemenangan suara elektoral dipegang kandidat dari Demokrat Joe Biden, Trump pun terus meningkatkan pendiriannya.

Ia mengklaim bahwa pemilu itu curang dan banyak surat suara yang dibuang setelah ditandai memberikan dukungan terhadapnya.

Trump juga mendorong klaim bahwa di Detroit, Michigan, surat suara diserahkan atas nama orang Amerika yang telah meninggal.

Tuduhan serupa juga ditudingkan pada negara bagian Georgia, di mana Tim kampanye Trump mengklaim bahwa surat suara diajukan oleh seorang wanita bernama Deborah Jean Christiansen, yang diduga meninggal pada Mei 2019, namun hal itu tidak benar.

"Sama sekali tidak benar dengan memecat Krebs. Juga tidak ada pembenaran untuk memecat mantan Menteri Pertahanan AS Mark Esper," tegas Bolton.

Bolton mempertanyakan apa yang telah dilakukan Trump terhadap pimpinan tim keamanan negaranya.

"Tidak ada pembenaran saat anda memecat Kepala tim keamanan nasional anda hanya kurang dari 10 minggu sebelum masa transisi, langkah tersebut mau tidak mau akan menimbulkan gangguan di instansi itu sendiri," jelas Bolton.

Bolton lebih lanjut berkomentar bahwa pernyataan Trump terkait tudingan pelanggaran Pemilu AS menunjukkan bahwa Trump sedang hidup di dunia fantasi.

Pemecatan terhadap Bolton pun sebelumnya dilakukan pada awal September 2019, setelah ia sering terlihat bentrok mengenai pemilihan cara terbaik dalam menangani perubahan kebijakan luar negeri AS.

Sebagian besar pembahasan itu terkait Iran dan Korea Utara.

Sementara itu, analisis yang dilakukan kelompok penelitian Brookings Institution baru-baru ini menemukan fakta bahwa tingkat perputaran posisi diantara pejabat paling senior dalam pemerintahan Trump mencapai angka sekitar 91 persen.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini