TRIBUNNEWS.COM - Ambisi Iran terhadap nuklir telah menjadi inti dari kekhawatiran atas meningkatnya risiko konflik di Timur Tengah selama lebih dari satu dekade.
Iran memiliki program nuklir damai selama bertahun-tahun.
Tetapi pada awal tahun 2000-an, muncul kekhawatiran, Iran sedang mengembangkan teknologi yang dapat membuat senjata nuklir, meskipun negara itu menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi.
Berikut sejarah krisis nuklir Iran hingga berujung pada pembunuhan seorang ilmuwannya, sebagaimana yang dilansir Sky News.
Pengayaan Uranium
Tidak lama setelah mantan presiden Mahmoud Ahmadinejad membuat serangkaian klaim tentang pengayaan uranium, sejumlah resolusi PBB disahkan, yang bertujuan untuk mendesak Iran untuk mundur.
Diplomasi antara Iran dan Barat "membeku" selama beberapa tahun.
Baca juga: Iran Siap Balas Pelaku Pembunuhan Ilmuwan Nuklirnya
Baca juga: Bunuh Ilmuwan Iran Mohsen Fakhrizadeh, Israel Persulit Masa Depan AS di Tangan Biden-Harris
Kedua belah pihak buntu atas klaim Teheran, program apa pun yang dimilikinya adalah untuk tujuan damai murni.
Pada saat yang sama, Ahmadinejad membuat serangkaian komentar yang mengancam Israel.
Ia dengan bangga menegaskan keberhasilan Iran dalam mengembangkan teknologi rudal balistik dan ruang angkasa.
Kesepakatan Nuklir
Barulah pada tahun 2015, ada kesepakatan nuklir yang terjadi setelah Hassan Rouhani menggantikan Ahmadinejad sebagai presiden petahana.
Setelah itu hubungan mulai membaik, meskipun untuk sementara.
Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), yang ditandatangani oleh Iran, AS, Inggris, Rusia, China, Jerman, dan UE, membuka jalan bagi pelonggaran sanksi yang dikenakan pada Iran.