TRIBUNNEWS.COM - Seorang ilmuwan asal Taiwan menceritakan kekhawatirannya satu tahun lalu, saat muncul virus misterius mematikan di Wuhan, China.
Desember 2019, saat laporan pertama adanya pnemonia tak biasa di Wuhan, Professor Chuang Yin-ching sudah merasa khawatir.
"Kami merasa sangat waspada saat itu," katanya kepada Sky News.
"Karena Taiwan sangat dekat dengan China, sangat penting untuk mencegahnya, daripada mengobatinya."
Ketika ia tiba di Wuhan pada pertengahan Januari dan berbicara dengan pejabat China, kekhawatiran makin meningkat.
"Saya pikir, ya, ada sesuatu yang salah," kata Prof Chuang.
Baca juga: Begini Awal Mula Virus Corona Bisa Masuk ke Indonesia
Baca juga: Di Wuhan Ada Lab Virus Berbahaya, Lokasinya Dekat Tempat Awal Mula Virus Corona, Apakah Berkaitan?
"Hal pertama adalah mungkin mereka tidak dipersiapkan dengan baik, mungkin mereka terlalu sibuk atau mereka ingin menyembunyikan informasi."
"Mereka hanya tidak ingin menyampaikan semua informasi kepada kami."
Prof Chuang adalah komandan regional untuk Jaringan Pencegahan dan Perawatan Penyakit Menular Taiwan, badan yang didirikan setelah wabah SARS tahun 2003.
Kala itu, wabah SARS ditangani oleh Prof Chuang secara langsung.
Sebagai hasil dari perjalanannya ke Wuhan untuk mengumpulkan informasi, Taiwan memberlakukan kontrol perbatasan yang ketat dan karantina.
Selama pandemi keseluruhan, Taiwan hanya mencatat tujuh kematian akibat virus corona dengan populasi penduduk hampir 24 juta.
Prof Chuang awalnya enggan mengunjungi Wuhan.
Ia dan istrinya sedang pindah rumah.
Ia juga khawatir tentang kemungkinan dirinya membawa virus dan menularkannya ke istrinya.
Namun, ketika direktur jenderal CDC Taiwan meneleponnya secara langsung, dia setuju untuk berangkat, memahami apa yang dipertaruhkan.
"Langkah pertama bagi kami untuk mengendalikan epidemi yang tidak diketahui ini, hal yang sangat penting adalah mengetahui detail wabah tersebut untuk pertama kalinya," kata Prof Chuang kepada Sky News.
"Dan kedua, saya ingin tahu jalur penularannya. Karena jalur penularan itu sangat penting bagi kami untuk melakukan pencegahan."
Pertanyaan yang paling mendesak bagi Prof Chuang adalah masalah penularan dari manusia ke manusia.
Saat itu, China dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sama-sama mengatakan tidak ada bukti bahwa penyakit itu menular dari manusia ke manusia.
Namun Prof Chuang skeptis akan hal itu.
Dari 13 hingga 15 Januari, kelompoknya, yang juga termasuk ilmuwan dari Hong Kong dan Makau, mengunjungi laboratorium dan rumah sakit.
Di sana ada zona "kotor" dan "bersih", tanda kekhawatiran adanya penularan manusia.
Kemudian, dalam sebuah pertemuan, seorang pejabat China mengakui ada dua cluster keluarga yang berbasis di sekitar pasar seafood Huanan, yang awalnya diduga merupakan asal muasal COVID-19.
Istri seorang pasien telah tertular meskipun dia tidak mengunjungi pasar.
"Jadi itu petunjuk tidak langsung dan sangat penting dari penularan dari manusia ke manusia (H2H)," kata Prof Chuang.
Beberapa pejabat junior berusaha menyangkal adanya penularan dari manusia ke manusia.
"Tapi menurut saya itu berarti pasti ada penularan dari manusia ke manusia."
"Karena mereka berusaha menyangkal kemungkinan penularan H2H dan kemudian pejabat yang lebih tinggi pada pertemuan itu mengakui bahwa penularan H2H tidak bisa dikesampingkan."
"Artinya itu adalah penyakit yang bisa menular dari manusia ke manusia, tidak diragukan lagi."
Prof Chuang sudah sadar mungkin sebelum orang lain.
Baru lah pada 20 Januari, baik China dan WHO mengumumkan bukti adanya penularan dari manusia ke manusia, namun terbatas.
Taiwan bukan bagian dari WHO, sebab China memandang negara itu sebagai bagiannya, provinsi yang memberontak dan bekerja keras untuk mencegah organisasi internasional mengakui Taiwan sebagai negara.
Taiwan, yang bukan bagian dari WHO, tidak menunggu.
Di bandara, Prof Chuang bertemu dengan petugas CDC dan meminta nasihatnya tentang peraturan perjalanan.
"Saya katakan tidak, kita perlu melakukan upgrade bukan downgrade, kita perlu berbuat lebih banyak terkait karantina, terkait cara mencegah orang dari Wuhan atau China membawa penyakit ini ke Taiwan."
Keesokan harinya, ia dan seorang rekannya mempublikasikan temuan mereka pada konferensi pers.
Pada 23 Januari, Wuhan di-lockdown.
Prof Chuang terkejut.
"Saya tidak bisa membayangkan kecepatan penyebarannya, menyebar begitu cepat."
"Karena mereka tidak memberikan skala wabahnya. Saya hanya tahu ada 41 kasus."
"Setahun sejak kasus COVID-19 pertama yang terdaftar di China, ada banyak hal yang masih belum kami ketahui."
"Dan masih ada jalan panjang yang harus dilalui."
"Saat ini orang mencoba menjalani kehidupan normal mereka," kata Prof Chuang.
"Tapi sebelum kita memiliki vaksin yang efektif, sebelum semua orang bisa mendapatkan vaksin, Anda hanya bisa hidup setengah normal."
"Mereka harus mengikuti anjuran pakai masker, lebih sering cuci tangan. Setiap orang punya tanggung jawab untuk melindungi diri sendiri."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)