Setelah menggunakan EpiPen, Sadrzadeh kemudian diberi beberapa obat, termasuk steroid dan Benadryl.
Catatan kunjungan rumah sakitnya menyatakan bahwa ia dirawat di UGD karena mengalami sesak napas, pusing, jantung berdebar hingga mati rasa setelah menerima vaksin Covid-19.
Pada Jumat pagi, ia mengaku bahwa kondisinya sudah mulai normal.
Namun momen itu bisa berubah menjadi jauh lebih mengerikan jika ia tidak siap menghadapi yang terburuk.
"Saya mengira jika saya tidak membawa EpiPen, saya akan diintubasi sekarang, karena (kondisi alergi saya) itu parah," kata Sadrzadeh.
Intubasi endotrakeal adalah prosedur medis untuk memasukkan alat bantu nafas berupa tabung ke dalam tenggorokan (trakea) melalui mulut atau hidung.
Sadrzadeh menambahkan bahwa apa yang baru saja ia alami itu adalah reaksi alergi terburuk yang pernah ia alami sejak berusia 11 tahun.
Berdasar pada pengalamannya tersebut, ia pun merekomendasikan agar orang yang memiliki riwayat alergi untuk mendapatkan vaksinasi ini di rumah sakit, bukan dari klinik atau penyedia layanan kesehatan lokal.
"Saya tahu gejalanya, saya punya pengalaman, saya adalah seorang dokter, dan saya ketakutan setengah mati. Bayangkan jika seseorang yang tidak punya informasi terkait ilmu kesehatan dan riwayat alerginya, mendapatkan vaksin ini?," tegas Sadrzadeh.
Ia pun telah menawarkan sampel darahnya kepada Moderna untuk membantu perusahaan tersebut mengidentifikasi jenis bahan apa yang terkandung dalam vaksin itu yang mungkin menjadi pemicu reaksi alergi.
"Saya benar-benar tidak ingin ada yang mengalami ini dan melewati pengalaman vaksinasi seperti saya," papar Sadrzadeh.
Ini adalah kasus pertama yang dikaitkan dengan vaksin Moderna.
Sebelumnya, Pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (AS) pun sedang menyelidiki setidaknya enam kasus reaksi alergi parah yang terjadi pada orang yang menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech.
Namun, saat ini masih belum jelas bahan apa yang memicu alergi dalam vaksin itu.