Pada Juni 2018, Sriwijaya Air dihapus dari daftar maskapai penerbangan terlarang Uni Eropa setelah 11 tahun ditempatkan dalam daftar itu.
Insiden Sriwijaya Air merupakan insiden terbaru yang mengguncang industri penerbangan Indonesia, sebuah sektor yang meski terus berkembang, tapi terus diganggu oleh standar keselamatan yang sangat buruk.
Baca juga: Kisah Rachmawati, Qariah Internasional yang Selamat dari Kecelakaan Sriwijaya Air SJY 182
Baca juga: Kisah Rombongan Selamat dari Maut, Gagal Terbang Naik Sriwijaya Air Lantaran Tak Bawa Bukti Tes PCR
Rekor yang Mengkhawatirkan
Pada Oktober 2018, Lion Air Penerbangan 610 jatuh ke Laut Jawa, setelah lepas landas dari Jakarta dan menewaskan 189 orang didalamnya.
Pesawat Boeing 737 Max 8 dijadwalkan melakukan perjalanan satu jam menuju Pangkal Pinang, Bangka.
Pada 2014, Indonesian AirAsia Flight 8501 merenggut nyawa 162 orang di dalamnya setelah jatuh ke Laut Jawa, saat terbang dari Surabaya ke Singapura.
Setahun sebelumnya, Lion Air terlibat dua kecelakaan.
Sebuah Boeing 737 meleset dari landasan pacu saat mendarat dan jatuh ke laut dekat Bali, memaksa penumpang untuk berenang atau mengarungi keselamatan.
Sementara Boeing 737 lainnya bertabrakan dengan seekor sapi saat mendarat di Bandara Jalaluddin, Gorontalo.
Pada 2007, Uni Eropa melarang semua 51 maskapai penerbangan Indonesia dari wilayah udaranya setelah sebuah pesawat Garuda Indonesia dengan 140 orang di dalamnya melampaui landasan di Yogyakarta pada Maret dan terbakar, menewaskan 21 orang di dalamnya.
Standar telah diperbaiki dengan semua maskapai penerbangan Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam itu pada Juni 2018 .
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)