TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah China memperingatkan Taiwan pada Kamis (28/1) dengan meningkatkan kegiatan militer di dekat pulau itu baru-baru ini.
China menyatakan, kemerdekaan bagi Taiwan berarti perang dan angkatan bersenjata China akan bertindak sebagai tanggapan atas provokasi dan campur tangan asing.
Taiwan, yang diklaim oleh China sebagai wilayahnya sendiri, melaporkan beberapa jet tempur dan pembom China memasuki zona identifikasi pertahanan udara barat daya akhir pekan lalu.
Hal tersebut kemudian mendorong Washington (Amerika Serikat) mendesak Beijing untuk berhenti menekan Taiwan.
China percaya bahwa pemerintah Taiwan yang terpilih secara demokratis sedang menggerakkan pulau itu menuju deklarasi kemerdekaan formal.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen bahkan telah berulang kali mengatakan itu sudah menjadi negara merdeka bernama Republik China, nama resminya.
Saat ditanya pada jumpa pers bulanan tentang aktivitas terbaru angkatan udara, juru bicara Kementerian Pertahanan China Wu Qian mengatakan Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari China.
Baca juga: China Tegas Peringatkan Taiwan Kemerdekaan Berarti Perang
“Kegiatan militer yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat China di Selat Taiwan merupakan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi situasi keamanan saat ini di Selat Taiwan dan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan nasional,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Jumat (29/1/2021).
"Mereka adalah tanggapan serius terhadap campur tangan eksternal dan provokasi oleh pasukan 'kemerdekaan Taiwan'," tambahnya.
Baca juga: China Kirim Jet Tempur ke Taiwan, Peringatkan Kemerdekaan Berarti Perang
Wu mengatakan segelintir orang di Taiwan yang menginginkan kemerdekaan pulau itu.
“Kami memperingatkan elemen 'kemerdekaan Taiwan' mereka yang bermain api akan membakar diri mereka sendiri, dan 'kemerdekaan Taiwan' berarti perang,” tambahnya.
Baca juga: Sejumlah Kapal Induk AS Masuk Laut China Selatan di Tengah Ketegangan China-Taiwan
Meskipun China tidak pernah meninggalkan penggunaan kekuatan untuk membawa Taiwan di bawah kendalinya, tidak biasa bagi Beijing untuk membuat ancaman konflik secara terbuka dan verbal.
Dewan Urusan Daratan Taiwan mengatakan China harus berhati-hati dan tidak meremehkan tekad pulau itu untuk mempertahankan kedaulatannya dan menegakkan kebebasan dan demokrasi.
Kementerian Pertahanan Taiwan melaporkan enam pesawat angkatan udara China, termasuk empat jet tempur J-10, terbang ke zona pertahanan udaranya pada hari Kamis, dekat dengan Kepulauan Pratas yang dikuasai Taiwan di ujung atas Laut China Selatan.
Serangan China akhir pekan bertepatan dengan kelompok pertempuran kapal induk AS memasuki Laut China Selatan yang disengketakan untuk mempromosikan "kebebasan laut".
China secara rutin menggambarkan Taiwan sebagai masalah paling penting dan sensitif dalam hubungannya dengan Amerika Serikat, yang di bawah pemerintahan sebelumnya Trump meningkatkan dukungan untuk pulau itu dalam hal penjualan senjata dan pejabat senior yang mengunjungi Taipei.
Pemerintahan Presiden Joe Biden, yang menjabat selama seminggu, telah menegaskan kembali komitmennya kepada Taiwan sebagai “tegas”, yang berpotensi menambah ketegangan lebih lanjut dengan Beijing.
Taiwan telah mengecam ancaman dan upaya China dalam melakukan intimidasi, dan Tsai telah berjanji untuk mempertahankan kebebasan pulau itu dan tidak akan dipaksa.
Taiwan sebelumnya menolak menjadi bagian dari China di bawah tawaran "satu negara, dua sistem". Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dengan tegas menolak klaim kedaulatan China atas Taiwan.
China menjawab bahwa "reunifikasi" tidak bisa dihindari dan tidak akan pernah menolerir kemerdekaan Taiwan.
Dalam pidatonya setelah dilantik untuk masa jabatan keduanya yang kedua dan terakhir, Tsai mengatakan hubungan antara Taiwan dan China telah mencapai titik balik historis.
"Kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk menemukan cara hidup berdampingan dalam jangka panjang dan mencegah intensifikasi antagonisme dan perbedaan," katanya.
Tsai dan partai politiknya, Partai Progresif Demokratik memenangkan pemilihan presiden dan parlemen pada Januari 2020 lalu.
"Di sini, saya ingin mengulangi kata-kata 'perdamaian, paritas, demokrasi, dan dialog'. Kami tidak akan menerima penawaran Beijing dengan 'satu negara, dua sistem'. Kami berdiri teguh dengan prinsip ini,” kata Tsai.
China menggunakan kebijakan "satu negara, dua sistem", yang menjamin otonomi tingkat tinggi, untuk menjalankan bekas koloni Inggris Hong Kong, yang kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997.
China telah menawarkan hal serupa ke Taiwan, meskipun semua partai-partai besar Taiwan telah menolaknya.
Sementara itu Kantor Urusan Taiwan China, menanggapi Tsai mengatakan China akan tetap berpegang pada satu negara, dua sistem dan tidak meninggalkan ruang untuk kegiatan separatis kemerdekaan Taiwan.
"Reunifikasi adalah suatu keniscayaan sejarah peremajaan besar bangsa China,. Kami memiliki kemauan kuat, keyakinan penuh, dan kemampuan yang memadai untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas wilayah," ujarnya.
China memandang Tsai sebagai sosok separatis yang bertekad pada kemerdekaan formal untuk Taiwan. Tsai mengatakan Taiwan adalah negara merdeka dan tidak ingin menjadi bagian dari Republik Rakyat China yang diperintah oleh Beijing.
China telah meningkatkan latihan militernya di dekat Taiwan sejak pemilihan ulang Tsai, menerbangkan jet-jet tempur ke ruang udara pulau dan berlayar di kapal perang di sekitar Taiwan.
Tsai mengatakan, Taiwan telah melakukan upaya terbesar untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan yang memisahkan Taiwan dengan China.
"Kami akan melanjutkan upaya-upaya ini, dan kami bersedia untuk terlibat dalam dialog dengan China dan memberikan kontribusi yang lebih konkret untuk keamanan regional," tambahnya.
Taiwan yang juga dikenal dengan nama Formosa adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai tenggara China, antara Laut China Selatan dan Timur.
Imigrasi warga China ke Taiwan mulai pada abad ke-17. Pulau tersebut berada di bawah kendali China daratan setelah masa kolonial Belanda antara 1620-1620. Taiwan juga pernah diduduki Jepang antara 1895-1945.
Pada 1949, sekitar dua juta pendukung dari Partai Kuomintang (KMT) yang dipimpin Chiang Kai-shek melarikan diri ke Taiwan untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang terpisah setelah kalah perang sipil menghadapi partai komunis pimpinan Mao Zedong.
Chiang memerintah pulau tersebut sampai kematiannya pada 1975 dan kepemimpinnya diteruskan oleh putranya Chiang Ching-kuo pada 1978.
Pada 1987, Chiang Ching-kuo mencabut status darurat militer yang telah berlaku salama 38 tahun, hanya enam bulan sebelum kematiannya pada tahun berikutnya.
Pada tahun 1991, pemerintahan darurat yang berlangsung selama 43 pun berakhir dan secara sepihak mengakhiri keadaan perang dengan China. Lee Teng-hui, wakil Chiang, menggantikannya pada 1988.
Lee adalah warga asli Taiwan pertama yang menjabat sebagai presiden dan ia juga menjadi presiden pertama Taiwan yang terpilih secara demokratis pada 1996.
Lee lebih menekankan kondisi Taiwan sebagai kawasan kepulauan, bukan pada soal kemerdekaan yang membuat gusar China dan AS sempat mengirim di Armada Ketujuh setelah Beijing menembakkan rudal uji ke Selat Taiwan.
AS tetap menjadi merupakan pemasok utama senjata ke Taiwan, meski secara politik telah mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing pada 1979.
Pada 2000, Chen Shui-bian dari Partai Demokratik Progresif (DPP) yang pro-kemerdekaan, terpilih sebagai presiden Taiwan, mengakhiri dominasi 51 tahun Partai Kuomintang, sehingga hubungan dengan China menjadi lebih tegang.
Namun, serangkaian skandal korupsi yang melibatkan Chen, keluarganya dan anggota senior DPP telah mencoreng citra partai dan menjadi penyebab utama kekalahannya pada pemilihan presiden Maret 2008.
Angin perubahan terjadi setelah Ma Ying-jeou dari Partai Kuomintang meraih kemenangan telak dengan platform meningkatkan perekonomian, terutama melalui hubungan dagang yang lebih erat dengan Beijing.
Hubungan antara Taiwan dan China membaik secara dramatis sejak Ma menjabat presiden, sebagai dampaknya, penerbangan langsung antara kedua wilayah itu pun diluncurkan dan diikuti dengan langkah-langkah untuk meningkatkan sektor pariwisata.
Perjanjian Kerjasama Kerangka Ekonomi ditandatangani pada 2010 untuk mengurangi hambatan komersial dan pada Februari 2015 lalu, kedua pemerintah mengadakan pembicaraan berlangsung di Nanjing.
Namun, sentimen publik justru berbalik melawan KMT karena khawatir dengan semakin dominannya pengaruh China.
Pada musim semi 2014, sekitar 200 mahasiswa menduduki parlemen selama lebih dari tiga minggu yang dikenal sebagai Gerakan Bunga Matahari untuk menentang pakta perdagangan yang kontroversial.
KMT menderita kekalahan terburuk dalam pemilu lokal pada November 2014 lalu dan terpaksa untuk menggantikan calon presiden mereka pada Oktober 2015 lalu akibat pandangan yang terlalu pro-China.
China secara resmi menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang menunggu reunifikasi, mengancam untuk menyerang jika Taiwan secara resmi menyatakan kemerdekaan.
Taiwan kehilangan keanggotaan PBB pada 1971 dan 16 kali upaya untuk bergabung kembali dengan organisasi dunia tersebut selalu diganjal oleh Beijing.
Hanya 23 negara secara resmi mengakui Taiwan dan kedua belah pihak saling tuduh menggunakan "diplomasi dolar" untuk merayu negara lain agar menjadi sekutu mereka.(TribunNetwork/mal/reuters/jok/wly)