Kemudian mereka sewaktu-waktu bisa melakukan kudeta, dengan klausul "militer berhak mengambil alih dan memimpin negara jika demokrasi dianggap mati".
Kecurangan pada pemilu diduga jadi alasan kudeta militer Myanmar
Aung San Suu Kyi sempat memenangkan hadiah Nobel Perdamaian atas usahanya dalam perjuangan untuk demokrasi dengan junta Myanmar. Usaha kerasnya tersebut membuatnya menjadi ikon nasional sekaligus tahanan rumah selama beberapa dekade.
Pada pemilihan di bulan November, NLD memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan, tetapi militer mengatakan pemungutan suara itu curang.
NLD memenangkan 83% kursi yang tersedia dalam pemilihan 8 November dalam apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai referendum terhadap pemerintahan sipil Suu Kyi.
Namun militer membantah hasil tersebut, mengajukan pengaduan ke Mahkamah Agung terhadap presiden dan ketua komisi pemilihan.
Ketakutan akan kudeta militer meningkat setelah militer baru-baru ini mengancam akan "mengambil tindakan" atas dugaan penipuan. Komisi pemilihan telah menolak tuduhan tersebut.
Majelis rendah parlemen yang baru terpilih dijadwalkan bersidang untuk pertama kalinya pada hari Senin, tetapi militer menyerukan penundaan.
Reaksi AS
Amerika Serikat (AS) mendesak militer Myanmar untuk membebaskan pejabat yang ditahan, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, dan memperingatkan respons dari Washington atas kudeta.
Suu Kyi dan Presiden Myanmar ditahan setelah berminggu-minggu peningkatan ketegangan antara militer dan pemerintah sipil atas tuduhan kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada November tahun lalu.
"Amerika Serikat menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggungjawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki, Senin (1/2).
"Kami mendesak militer dan semua pihak lain untuk mematuhi norma demokrasi dan supremasi hukum, dan membebaskan mereka yang ditahan hari ini," ujar Psaki, seperti dikutip Reuters.
PBB Mengecam