Empat tahun kemudian ia pergi ke Universitas Oxford di Inggris, ia belajar filsafat, politik, dan ekonomi.
Saat menjalankan pendidikannya di Oxford, Inggris, ia bertemu dengan calon suaminya yang merupakan seorang akademisi, Michael Aris.
Ia menikah dengan Michael Aris pada 1972 dan memiliki dua orang anak.
Ia menetap di Inggris untuk membesarkan kedua anak mereka, Alexander dan Kim.
Namun Myanmar tidak pernah jauh dari pikirannya.
Ketika ia tiba kembali di Rangoon (sekarang Yangon) pada 1988 untuk merawat ibunya yang kritis, Myanmar berada di tengah pergolakan politik besar.
Ribuan siswa, pekerja kantoran, dan biksu turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi.
Suu Kyi kemudian memimpin pemberontakan melawan diktator saat itu, Jenderal Ne Win.
Tahanan Rumah
Terinspirasi oleh kampanye tanpa kekerasan dari pemimpin hak-hak sipil AS, Martin Luther King, dan Mahatma Gandhi dari India, Suu Kyi mengorganisir aksi unjuk rasa dan melakukan perjalanan ke seluruh negeri, menyerukan reformasi demokrasi yang damai dan pemilihan umum yang bebas.
Namun demonstrasi tersebut diserang secara brutal oleh tentara, yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada 18 September 1988.
Suu Kyi lalu ditempatkan di bawah tahanan rumah pada tahun berikutnya.
Selanjutnya, pemerintah militer mengadakan pemilihan nasional pada Mei 1990.
Pemilihan tersebut dimenangkan oleh partai NLD, yang dipimpin Suu Kyi.