Pemimpin komunitas Rohingya di kamp Thaingkhali, Sayed Ullah mengatakan tidak khawatir soal kudeta.
Baca juga: China Bantah Dukung Kudeta Militer di Myanmar
Baca juga: Video Detik-detik Anggota Parlemen Myanmar Dijemput Paksa Tentara Bersenjata Saat Kudeta Militer
"Kami telah lama hidup di bawah rezim militer. Pemerintah sipil Aung Sun Suu Kyi tidak melakukan apa-apa untuk kami. Mereka tidak memprotes genosida yang terjadi di komunitas kami," katanya.
"Sekarang militer berkuasa, kami merasa proses pemulangan kami semakin terhenti."
"Tidak mungkin tentara membiarkan kami kembali ke tanah air kami," jelas Ullah.
Kudeta militer di Myanmar membuat risau pemerintah Bangladesh karena perjanjian pemulangan warga Rohingya kemungkinan akan terhenti.
Myanmar dan Bangladesh kerap berselisih soal proses repatriasi yang berulang kali terhenti.
Menteri Luar Negeri Bangladesh, AK Abdul Momen mengatakan perubahan rezim di Myanmar tidak serta merta menghalangi proses repatriasi.
"Kami harus menunggu dan melihat," katanya.
Joe Biden Angkat Bicara
Suu Kyi merupakan tokoh demokrasi Myanmar yang pernah meraih Nobel Perdamaian.
Kudeta militer terjadi dilatari sengketa hasil Pemilu November 2020 lalu, dimana Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menang telak.
Baca juga: Negara Kelompok G7 Kecam Kudeta Militer di Myanmar
Baca juga: Polisi Myanmar Tuntut Aung San Suu Kyi karena Impor Peralatan Komunikasi secara Ilegal
Hasil pemilihan ini ditentang militer dengan mengatakan ada kecurangan.
Setelah pemerintah sipil ditangkap, Jenderal Min Aung Hlaing mengambil alih negara dan memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun.
Presiden AS Joe Biden mengatakan kudeta itu menjadi serangan langsung kepada Myanmar yang sedang bertransisi menuju demokrasi dan supremasi hukum.