TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Militer Myanmar menyatakan tidak takut terhadap ancaman sanksi internasional terkait kudeta yang mereka lakukan pada 1 Februari lalu.
Hal itu disampaikan seorang pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (3/3/2021) waktu setempat, ketika dia mendesak negara-negara untuk "mengambil langkah-langkah yang sangat kuat" untuk memulihkan demokrasi di Myanmar.
Utusan khusus PBB di Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan 38 orang meninggal pada Rabu (3/3/2021) - hari paling berdarahdan brtutal sejak kudeta - saat militer ingin memadamkan aksi protes.
Schraner Burgener akan memberi pengarahan kepada Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat (5/3/2021) besok waktu setempat.
Myanmar telah berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dan banyak tokoh sipil dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
NLD memenangkan pemilu pada bulan November lalu, yang dituding militer curang. Tetapi Komisi pemilihan umum mengatakan pemungutan suara itu adil.
Schraner Burgener mengatakan bahwa dalam percakapan dengan wakil kepala militer Myanmar Soe Win, dia telah memperingatkannya, militer kemungkinan akan menghadapi langkah-langkah tegas dari beberapa negara dan isolasi sebagai ganjaran atas kudeta.
"Jawabannya adalah, 'Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selamat'," katanya kepada wartawan di New York, seperti dilansir Reuters, Kamis (4/3/2021).
" Ketika saya juga memperingatkan mereka akan diisolasi, jawabannya adalah, 'Kita harus belajar berjalan dengan hanya beberapa teman'."
Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa, telah menerapkan atau sedang mempertimbangkan sanksi yang ditargetkan untuk melumpuhkan militer dan sekutu bisnisnya.
Dewan Keamanan PBB yang berjumlah 15 anggota telah menyuarakan keprihatinan atas keadaan darurat, tetapi berhenti pada mengutuk kudeta bulan lalu karena ‘oposisi’ Rusia dan China, yang memandang situasi itu sebagai urusan internal Myanmar.
"Saya berharap bahwa mereka mengakui bahwa itu bukan hanya urusan internal, itu memukul stabilitas wilayah," kata Schraner Burgener tentang China dan Rusia.
Dia menjelaskan Soe Win mengatakan kepadanya bahwa "setelah setahun mereka ingin mengeglar pemilu baru."
Schraner Burgener terakhir berbicara dengannya pada 15 Februari lalu dan sekarang berkomunikasi dengan militer secara tertulis.
Baca juga: Polisi Myanmar Tembak Mati 38 Demonstran, Aktivis Pro Demokrasi Bersumpah Terus Melawan