TRIBUNNEWS.COM - Menyusul Prancis, Belgia, dan Austria, Swiss melarang pemakaian burqa atau cadar di tempat umum.
Berdasarkan pemungutan suara referendum, lebih dari 51 persen pemilih di Swiss mendukung pelarangan cadar.
Ini berlaku untuk di tempat umum, seperti jalan, toko, dan restoran.
Dilansir The Guardian, penutup wajah atau cadar hanya boleh digunakan saat di tempat ibadah atau acara adat.
Penutup wajah untuk alasan kesehatan juga menjadi pengecualian dalam larangan tersebut.
Artinya, masker tidak akan terpengaruh undang-undang baru itu.
Proposal yang diajukan oleh beberapa kelompok termasuk sayap kanan Partai Rakyat Swiss, tidak menyebut Islam secara spesifik, tetapi secara luas disebut sebagai "pelarangan burqa" di media Swiss.
Baca juga: Swiss Gelar Referendum Nasional untuk Bahas Pelarangan Cadar
Baca juga: Hasil Semifinal Swiss Open 2021, Viktor Axelsen Melaju ke Final Keempat Tahun Ini
Proposal itu mendapat kritikan dari sejumlah organisasi agama di Swiss, kelompok HAM, dan pemerintah federal.
Dewan Agama Swiss, perwakilan semua komunitas agama di negara itu, mengutuk proposal tersebut.
Pihaknya menekankan bahwa kebebasan tata cara berpakaian termasuk dalam HAM.
Dewan Federal Swiss dan Parlemen Swiss juga menolak inisiatif tersebut dan menilainya terlalu berlebihan.
Kedua badan ini mengajukan proposal balasan terhadap larangan tersebut.
Proposal itu menyarankan untuk melepas cadar dan menunjukkan wajah kepada polisi atau otoritas jika diperlukan untuk tujuan identifikasi, dikutip dari CNN.
"Ini jelas merupakan serangan terhadap komunitas Muslim di Swiss. Apa yang dimaksudkan di sini adalah untuk lebih menstigmatisasi dan meminggirkan Muslim," kata Ines Al Shikh, anggota Les Foulards Violets, kelompok feminis Muslim.
"Kebijakan simbolis ini ditujukan terhadap wanita dan pria Muslim," kata Swiss Federation of Islamic Umbrella Organisation dalam sebuah pernyataan.
"Tapi itu juga merusak seluruh Swiss, yang telah merusak nilai-nilainya sendiri dengan menerima inisiatif tersebut," tambahnya.
Penolakan juga datang dari aliansi pebisnis hotel dan pariwisata di Berne dan Jenewa.
Mereka menilai larangan tersebut akan mengurangi jumlah wisatawan dari negara-negara Arab.
"Larangan burqa akan merusak reputasi kami sebagai tujuan pariwisata yang terbuka dan toleran," kata Nicole Brändle Schlegel, anggota aliansi perhotelan.
Di sisi lain, pendukung referendum itu menilai larangan dimaksudkan untuk menyetop unjuk rasa anarkis di jalan dan perusuh yang mengenakan penutup wajah.
Pendukung juga menilai larangan tidak secara eksplisit menyebut agama Islam atau kata niqab dan burqa.
Baca juga: Pria Bercadar Diamankan, Nyamar Jadi Wanita demi Cari Pacar Laki-laki, Sempat Goda Calon Polisi
Baca juga: 3 Fakta Pembacokan Pesilat PSHT, Pelaku Pakai Cadar hingga Polisi Keluarkan Tembakan Peringatan
Referendum pelarangan cadar diluncurkan oleh Komite Egerkingen pada 2016 dengan slogan "Hentikan ekstremisme! Ya untuk larangan cadar."
Hasil pemungutan suara itu dikritik sebagai "anti-Muslim" oleh Amnesty International.
"Para pemilih Swiss sekali lagi menyetujui inisiatif yang mendiskriminasi satu komunitas agama pada khususnya, yang tidak perlu memicu perpecahan dan ketakutan," kata Amnesty International.
Larangan parsial dan larangan lokal untuk cadar sudah diberlakukan di beberapa negara Eropa termasuk Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, dan Denmark.
Prancis adalah yang pertama melarang burqa dan niqab di ruang publik pada 2011.
Pada 2018, Komite Hak Asasi Manusia PBB mengatakan larangan itu melanggar hak asasi perempuan Muslim dan berisiko membatasi ruang gerak.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)