TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Dewan Keamanan PBB mengutuk kekerasan terhadap demonstran Myanmar dan mendesak militer untuk menahan diri.
Seperti dilansir Reuters, Kamis (11/3/2021), Dewan Keamanan PBB gagal untuk mencapai kesepakatan menyebut pengambilalihan kekuasaan sipil oleh militer itu sebagai kudeta.
Dewan Keamanan PBB itu gagal mengeluarkan ancaman lebih lanjut karena oposisi China, Rusia, menentangnya.
"Dewan Keamanan mengutuk keras kekerasan terhadap demonstran damai, termasuk terhadap perempuan, pemuda dan anak-anak," menurut pernyataan yang disepakati.
Myanmar telah berada dalam krisis sejak militer mengusir pemerintahan di bawah pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari, menahannya dan pejabat Partai Liga Nasional ntuk Demokrasi.
Militer menuding kecurangan dalam pemilu November. Tetapu Komisi pemilihan umum mengatakan pemungutan suara itu adil.
Dewan juga menyatakan keprihatinan mendalam pada pembatasan tenaga medis, masyarakat sipil, anggota serikat buruh, jurnalis dan pekerja media, dan "menyerukan pembebasan segera semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang."
Baca juga: Amnesty: Junta Militer Myanmar Gunakan Taktik Pertempuran Lumpuhkan Demonstran
Lebih dari 60 orang telah tewas dan sekitar 1.800 orang ditahan dalam tindakan kekerasan terhadap aksi protes harian anti kudeta di sekitar negara Asia Tenggara itu, kata sebuah kelompok advokasi.
Puluhan wartawan termasuk di antara mereka yang ditangkap.
Pernyataan dewan "menyatakan dukungannya yang berkelanjutan untuk transisi demokrasi di Myanmar, dan menekankan perlunya menegakkan institusi dan proses demokrasi, menahan diri dari kekerasan, sepenuhnya menghormati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dan menegakkan aturan hukum."
Dalam sebuah pernyataan kepada pers setelah kudeta, dewan menyatakan keprihatinan atas keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan semua orang yang ditahan.(Reuters)