Sebab, hampir semua pembayaran dolar jelas melalui lembaga keuangan AS, langkah tersebut secara efektif mengeluarkan perusahaan-perusahaan yang masuk daftar hitam dari sistem perbankan AS.
Baca juga: AS Siapkan Sanksi Terbaru Sasar Dua Konglomerat yang Dikendalikan Junta Militer Myanmar
Tindakan Menggangu
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan militer Myanmar "telah mengambil tindakan yang semakin mengganggu yang ditujukan pada warganya sendiri sejak 1 Februari".
"Tindakan ini secara khusus akan menargetkan mereka yang memimpin kudeta, kepentingan ekonomi militer, dan aliran dana yang mendukung penindasan brutal militer Burma," katanya.
"Mereka tidak ditujukan pada orang-orang Burma," tambah Blinken.
"Amerika Serikat dan Inggris telah menunjukkan bahwa kami akan menindaklanjuti janji kami untuk mempromosikan pertanggungjawaban atas kudeta dan kekerasan yang menjijikkan dan pelanggaran lain yang telah kami lihat dalam beberapa pekan terakhir," kata Blinken.
Baca juga: Bocah 7 Tahun Ini Jadi Korban Termuda yang Ditembak Mati Tentara Myanmar, Ia Tewas di Pangkuan Ayah
Seruan Lebih Banyak Sanksi untuk Myanmar
Pada sidang Senat AS, Senator Ed Markey yang merupakan Ketua Subkomite Asia dari Partai Demokrat, mengatakan dia menyambut baik sanksi terbaru tetapi menyerukan lebih banyak.
"Lebih banyak yang harus dilakukan untuk menyangkal garis kehidupan ekonomi tentara dan menyangkal senjata perang. Amerika Serikat harus memainkan peran utama dalam mendesak mitra dan sekutu kami, termasuk anggota ASEAN, untuk mengambil langkah-langkah untuk memotong pendanaan untuk militer," katanya.
Pernyataannya mengacu pada Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) Asia Tenggara.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Bebaskan Ratusan Demonstran
Kesulitan Berbisnis
Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) menyambut baik langkah AS tetapi juga mendesak lebih banyak langkah.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan sanksi itu akan membuat para konglomerat kesulitan berbisnis dengan perusahaan luar.
"Ini adalah langkah yang sangat penting tetapi ini bukanlah sanksi ekonomi terbesar yang dapat diterapkan," kata direktur advokasi HRW Asia, John Sifton.