Menurut The NYT, beberapa saluran media sosial Telegram yang dijalankan oleh anggota Korps Pengawal Revolusi Islam menuduh Tel Aviv berada di balik ledakan tersebut.
Insiden yang dilaporkan dengan Saviz terjadi di tengah ketegangan maritim yang memanas antara Iran dan Israel, dengan kedua negara bertukar tuduhan saling menyerang kapal satu sama lain.
Musuh bebuyutan itu bertukar tuduhan. Insiden tersebut terjadi sejak Presiden AS Joe Biden menjabat pada 20 Januari dan berkomitmen bergabung kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015.
Pendahulunya, Presiden Donald Trump, menarik diri dari JCPOA, dalam sebuah langkah yang disambut gembira oleh Israel.
Iran dan AS pada Selasa meluncurkan pembicaraan tidak langsung di Wina yang mencakup kekuatan lain tentang cara-cara untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.
Baik Iran dan AS menyebut pembicaraan itu konstruktif. Sebaliknya, Israel menyambut negative pertemuan Wina.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam komentarnya kepada anggota parlemen dari partai sayap kanan Likud, mengatakan seharusnya tidak ada usaha kembali ke kesepakatan nuklir berbahaya.
"Secara paralel kita harus terus menangkis permusuhan Iran di wilayah kita," tambahnya. Ancaman ini menurut Netanyahu, bukanlah masalah teoretis.
“Saya tidak mengucapkannya secara retoris. Kita harus mengambil tindakan di hadapan rezim fanatik di Iran, yang mengancam akan menghapus kita dari muka bumi," kata Netanyahu.
Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, pada Selasa, menegaskan, pemerintahan Biden tidak mengantisipasi perubahan apa pun pada kebijakan Iran di tengah negosiasi pemulihan kesepakatan nuklir.(Tribunnews.com/FARS/Aljazeera/RT/Sputniknews/xna)