TRIBUNNEWS.COM, N’DJAMENA – Presiden Chad, Idris Deby Itno meninggal akibat pertempuran di medan konflik melawan kelompok pemberontak Front for Alternation and Concord in Chad (FACT), Selasa (20/4/2021).
Kelompok bersenjata itu sebelumnya bergerak cepat menuju ibu kota N’Djamena. Idris Deby turut ke garis depan, namun ia dilaporkan tertembak di tengah pertempuran.
Secara cepat, pemimpin militer Chad menunjuk Mahmud ibn Idriss Déby Itno, putra penguasa tujuh periode itu, sebagai pengganti Idris Deby.
Chad merupakan satu dari beberapa negara Afrika yang dikendalikan militer, tergantung diplomasi utang, dan kehadiran perusahaan multinasional dalam ekstraksi sumber daya.
Bangsa Sahel memainkan peran kunci dalam mempertahankan kehadiran militer Prancis di Negara Afrika Barat itu.
Baca juga: Presiden Chad Tewas Ditembak Saat Kunjungi Pasukan di Garis Depan yang Bertempur melawan Pemberontak
Baca juga: Presiden Chad Idriss Deby Tewas Saat Berperang Lawan Pemberontak
Para kritikus menyebut langkah penunjukan pputra Idris Deby itu kudeta konstitusi Chad. Itu juga menjadi pesan politis ke Prancis, mantan penjajah Chad dan sekutu dekat mereka.
Juru bicara militer Chad, Azem Bermandoa Agouna, mengumumkan kematian Presiden Déby di saluran televise nasional.
Sebelum akhirnya tewas, Idris Deby baru saja memenangkan masa jabatan keenam sebagai presiden dalam pemilihan yang memberinya 79 % suara kemenangan.
Militer kini bergerak cepat mengamankan posisi Mahmud Idriss yang masih berusia 37 tahun, sekaligus menangguhkan konstitusi dan membentuk dewan transisi 18 bulan.
Tentara juga membubarkan pemerintah dan Majelis Nasional, menutup semua perbatasan udara dan darat, dan memberlakukan jam malam dari jam 6 sore sampai jam 5 pagi.
“Menghadapi situasi yang mengkhawatirkan ini, rakyat Chad harus menunjukkan komitmen mereka terhadap perdamaian, stabilitas, dan kohesi nasional,” kata Agouna.
Kudeta Konstitusi atau Demi Kontinuitas?
Krisis di Chad ini memantik kecurigaan kudeta terselubung di negara Sahel yang berpenduduk 16 juta itu.
Ayo Sogunro, seorang penulis Nigeria dan pengacara hak asasi manusia, mengecam langkah militer Chad, dan menyebutnya kudeta terhadap konstitusi. Ia meminta Uni Afrika menolak langkah itu.