TRIBUNNEWS.COM, RIO DE JANEIRO - Sedikitnya 25 orang tewas setelah ratusan polisi bersenjata lengkap menyerbu sebuah daerah kumuh terbesar di Rio de Janeiro, Brasil.
Aparat keamanan menargetkan para pengedar narkoba. Saat operasi digelar itu terjadi kontak tembak, mengakibatkan kematian para pelaku dan warga lainnya.
Media lokal menunjukkan rekaman langsung tujuh pemuda bersenjata yang melompat melalui atap favela Jacarezinho Kamis (6/5/2021) pagi waktu setempat.
Helikopter antipeluru dikerahkan dan melayang-layang di atas permukiman kumuh dan sangat padat hunian itu.
Laporan itu mengatakan para penjahat berusaha melarikan diri dari polisi. Dua penumpang di metro terkena peluru nyasar dan satu petugas polisi tewas.
Video dan foto yang dibagikan ke Al Jazeera oleh penduduk menunjukkan ledakan granat, serta mayat bergeletakan di lorong-lorong favela.
Beberapa lubang bekas tembakan tampak di pintu rumah, kasur dan terlihat pakaian berlumuran darah, dan serta jejak darah mengalir menuruni tangga di gang-gang sempit favela.
Media Brasil secara memuji operasi itu, saat Kepolisian Federal dan Sipil Rio mengatakan tindakan keras dibenarkan terhadap perdagangan narkoba dan kejahatan kekerasan lainnya di masyarakat.
Serangan Membuat Warga Sipil Ngeri
Tetapi aktivis hak asasi manusia, penduduk, dan spesialis keamanan publik merasa ngeri dan mengatakan serangan itu mungkin didorong faktor lain.
“Tidak pernah dalam hidup saya, saya melihat operasi polisi yang mematikan seperti ini,” kata Bruno Soares, peneliti dari Pusat Studi Keamanan Publik dan Kewarganegaraan Rio kepada Al Jazeera.
"Petugas polisi itu terbunuh sebelum jam 9 pagi, ini bisa mempengaruhi jumlah kematian karena polisi menyerang dengan lebih banyak kekuatan," tambah Soares, yang lahir dan besar di favela Jacarezinho.
Soares yang berada di favela saat operasi berlangsung mengatakan, tidak mungkin semua orang yang tewas dalam operasi itu adalah kriminal.
Polisi belum memberikan informasi siapa yang terbunuh tetapi penduduk mengatakan sebagian besar pembunuhan bukan dari baku tembak.
“Salah satu pria meminta untuk bersembunyi di rumah saya. Ketika polisi datang, saya memberi tahu mereka ada seseorang di sini, karena mereka pasti akan masuk. Mereka pergi ke kamar putri saya dan langsung menembaknya, "kata seorang penduduk favela dalam video yang dibagikan dengan Al Jazeera.
Monica, seorang aktivis hak asasi manusia, yang juga berada di favela ketika penggerebekan terjadi mengatakan polisi menyerbu rumah-rumah dalam apa yang dia gambarkan sebagai pemusnahan.
“Itu adalah pembantaian,” kata Monica. Joel Luiz Costa, pengacara dan penduduk favela yang timnya mengunjungi beberapa rumah setelah penembakan terjadi, menyebut operasi itu kejam dan biadab.
Dia mengatakan ada tanda-tanda yang jelas dari pembunuhan bergaya eksekusi.
Tahun lalu, Mahkamah Agung Brasil memerintahkan polisi untuk menghentikan operasi selama pandemi Covid-19, yang berkecamuk di Brasil, membatasi mereka pada keadaan yang benar-benar luar biasa.
Awalnya, setelah Mahkamah Agung melarang kematian akibat operasi polisi turun 70 persen dibandingkan dengan rata-rata dari bulan-bulan sebelumnya.
Data disiarkan Universitas Federal Fluminense Rio. Namun kematian demi kematian balik lagi setelah Gubernur Rio Claudio Castro menjabat Oktober lalu.
Korban Tewas Kebanyakan Warga Daerah Kumuh
Pengadilan tertinggi negara itu belum berkomentar apakah operasi mematikan pada Kamis termasuk dalam pengecualian itu.
Pengadilan juga meminta polisi untuk meminta persetujuan Kementerian Umum setidaknya 24 jam sebelum operasi.
Laporan media mengatakan Kementerian Publik telah menyetujui operasi tersebut. Tetapi Soares, dari Pusat Studi Keamanan Publik dan Kewarganegaraan, mengklaim kementerian hanya menerima informasi tentang operasi tersebut tiga jam setelah dimulai.
Menurut laporan Human Rights Watch, lebih dari 1.200 orang dibunuh oleh polisi Rio tahun lalu. Mayoritas orang yang terbunuh berasal dari lingkungan dan pinggiran yang miskin dan kelas bawah.
Sebuah laporan terpisah dari Fogo Cruzado, sebuah platform digital yang memantau kekerasan bersenjata di Rio, mengatakan bahwa lebih dari 100 anak telah terbunuh oleh peluru nyasar dalam lima tahun terakhir, dan mayoritas tidak dihukum.
“Sayangnya, operasi seperti hari ini sangat umum di Rio de Janeiro. Polisi memperlakukan penggerebekan sebagai hal biasa, yang setiap kali menjadi lebih kejam,” kata Cecilia Oliveira.
“Ketika kami memiliki operasi polisi paling mematikan dalam sejarah kami, ini sangat berarti,” kata pendiri Fogo Cruzado kepada Al Jazeera.
Oliveira berkata selain dari kepolisian kota, Kementerian Negara bagian dan Publik juga harus bertanggung jawab.
“Kementerian Publik jarang menginvestigasi kekerasan polisi, ini memberikan impunitas kepada polisi. Polisi tidak melakukan apa pun sendirian. Jadi bukan hanya jari polisi yang menarik pelatuknya," katanya.(Tribunnews.com/Aljazeera/xna)