TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah militer atau junta Myanmar memberlakukan darurat militer di Kota Mindat, Negara Bagian Chin, kata media pemerintah The Global New Light of Myanmar pada Jumat (14/5/2021).
Darurat militer diberlakukan setelah terjadi penyerangan terhadap fasilitas umum, yaitu bank dan kantor polisi di wilayah yang berbatasan dengan India itu.
Dikutip dari Channel News Asia, sebelum mengumumkan status darurat militer, junta menyalahkan 'teroris bersenjata' atas serangan tersebut.
Adapun kerusuhan di Kota Mindat pada Rabu (12/5/2021) dan Kamis (13/5/2021), melibatkan sekira 100 orang yang menggunakan senjata rakitan untuk menyerang sebuah kantor polisi.
Selain itu, sekira 50 orang lainnya menyerang Bank Ekonomi Myanmar, demikian diwartakan Myanmar News Agency.
Pasukan keamanan dilaporkan telah menangkis serangan tersebut tanpa menimbulkan korban.
Baca juga: Junta Myanmar Bebaskan Reporter Asal Jepang dan Penjarakan Jurnalis Lokal
Sementara itu, sebuah dokumen yang diunggah di media sosial oleh media lokal yang mengklaim berasal dari pemerintahan anti-junta di daerah Mindat, mengatakan deklarasi darurat militer tidak valid.
Dikatakan juga bahwa pertempuran itu dipicu oleh tentara yang melanggar janji untuk membebaskan tujuh warga sipil yang ditahan selama protes baru-baru ini.
Seorang juru bicara Pasukan Pertahanan Chinland, milisi yang baru dibentuk, mengatakan pihaknya berada di balik pertempuran terakhir dan mengkonfirmasi keaslian dokumen tersebut.
"Mereka (junta) tidak bisa lagi memerintah kota kecuali di beberapa daerah di mana mereka memiliki pangkalan," kata juru bicara itu.
"Mereka tidak memiliki kendali di daerah pedesaan," lanjutnya.
Juru bicara tersebut menambahkan, satu pejuang dari pasukannya tewas dan bentrokan terus berlanjut dengan tentara yang membawa bala bantuan.
Sebagai tanda lebih lanjut dari perlawanan terus menerus terhadap aturan militer, video di media sosial menunjukkan pendukung pro-demokrasi tengah unjuk rasa di pusat komersial Myanmar di Yangon pada Jumat (14/5/2021).
Secara bersama-sama mereka berteriak; "Kami percaya bahwa kami akan menang, kami harus menang, kami harus menang".
Beberapa pendukung pemerintah yang digulingkan pun telah berkoalisi dengan pemberontak yang memerangi militer selama beberapa dekade di daerah perbatasan.
Dibentuk seminggu yang lalu oleh Pemerintah Persatuan Nasional yang menentang para jenderal, sebuah kelompok yang disebut Pasukan Pertahanan Rakyat telah meminta dukungan dari kelompok-kelompok etnis bersenjata yang telah lama menganggap militer Mynamar sebagai musuh terbesar mereka.
Dipanggil untuk mempersenjatai diri sejak kudeta, pejuang mereka telah menyergap pasukan keamanan dan membunuh administrator yang ditunjuk junta.
Diketahui, pertempuran telah meningkat di beberapa daerah perbatasan sejak kudeta 1 Februari, dengan milisi etnis meningkatkan serangan, menduduki pos militer dan menjatuhkan helikopter militer.
Baca juga: Mantan Ratu Kecantikan Myanmar Ikut Angkat Senjata Lawan Junta Militer, Ungkap Siap Berkorban Nyawa
Lebih lanjut, krisis di Myanmar telah menewaskan 788 orang, lapor Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Reuters tidak dapat memverifikasi korban secara independen karena militer telah memberlakukan pembatasan pada media, layanan internet, dan siaran satelit.
Junta Bebaskan Reporter Asal Jepang dan Penjarakan Jurnalis Lokal
Jurnalis asal Myanmar yang melaporkan protes anti-pemerintah dipenjara selama tiga tahun atas tuduhan penghasutan, ungkap kantor berita wartawan tersebut.
Sementara itu, pihak berwenang mengumumkan seorang reporter asal Jepang yang telah dua kali ditangkap akan dibebaskan.
Dilansir Al Jazeera, Min Nyo, yang bekerja untuk Suara Demokratik Burma (DVB) di wilayah Bago Myanmar, ditangkap pada 3 Maret 2021 dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer dalam salah satu vonis pertama terhadap pekerja media sejak kudeta.
"DVB menuntut otoritas militer segera membebaskan Min Nyo, serta wartawan lain yang ditahan atau dihukum di sekitar Myanmar," katanya pada Kamis (13/5/2021).
"Dia dipukuli oleh polisi dan ditolak kunjungan keluarganya," katanya.
Baca juga: Sempat Ditahan Otoritas Myanmar, Wartawan Yuki Kitazumi Dijadwalkan Tiba di Jepang Malam Ini
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, juga mengecam hukuman tersebut.
"Dunia tidak dapat terus duduk diam sementara mesin penindas junta memenjarakan kebenaran dan mereka yang mempertaruhkan segalanya untuk mengungkapkannya," tuturnya.
Dalam buletin berita malamnya, MRTV yang dikelola pemerintah mengatakan jurnalis lain, Yuki Kitazumi, yang didakwa di bawah hukum yang sama dengan Min Nyo, telah melanggar hukum tetapi akan dibebaskan sebagai pengakuan atas hubungan dekat Myanmar dengan Jepang.
Kitazumi, yang menjalankan perusahaan media di Yangon, ditangkap pada 19 April 2021 untuk kedua kalinya sejak kudeta dan merupakan wartawan asing pertama yang didakwa.
Jepang adalah investor besar dan sumber bantuan teknis dan bantuan pembangunan bagi pemerintah semi-sipil Myanmar dalam 10 tahun demokrasi dan reformasi setelah berakhirnya era terakhir pemerintahan militer pada 2011.
Risiko terhadap kehidupan dan kebebasan di Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta.
Pihak militer berusaha untuk menegakkan ketertiban di tengah gelombang kemarahan publik atas penggulingan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Banyak jurnalis termasuk di antara hampir 4.900 orang yang telah ditangkap, menurut AAPP.
DVB merupakan di antara beberapa outlet berita yang izinnya telah dicabut oleh militer, yang telah membatasi akses internet dan menggunakan kekuatan mematikan untuk menekan pemogokan dan protes di seluruh negeri terhadapnya.
Tiga dari jurnalis DVB ditahan di Thailand utara minggu ini karena masuk secara ilegal setelah melarikan diri dari Myanmar.
Kelompok hak asasi manusia telah memohon kepada Thailand untuk tidak mendeportasi mereka.
Emerlynne Gil, wakil direktur regional Amnesty International mengatakan jurnalisme secara efektif telah dikriminalisasi oleh para jenderal Myanmar.
"Mereka mempertaruhkan nyawa dan kebebasan untuk menjelaskan pelanggaran militer," kata Gil dalam sebuah pernyataan.
"Otoritas militer kejam, bertekad untuk menghancurkan perbedaan pendapat dengan membungkam mereka yang berusaha mengungkap kejahatan mereka," imbuhnya.
Berita lain seputar Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina/Andari Wulan Nugrahani)