TRIBUNNEWS.COM - Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan dan menahan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi serta pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), 1 Februari 2021.
Sejak saat itu pula, militer telah menghadapi protes dari pendukung pro-demokrasi yang terjadi setiap hari.
Militer menanggapi protes penentangnya di kota-kota besar dan kota-kota kecil menggunakan kekerasan hingga kekuatan mematikan.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), hingga Senin (17/5/2021), 802 orang tewas akibat tindakan keras pasukan keamanan pemerintah militer atau junta.
Meski demikian, kelompok aktivis itu menduga kemungkinan besar korban tewas jauh lebih tinggi daripada yang mereka laporkan.
"Ini adalah jumlah yang diverifikasi oleh AAPP, jumlah kematian sebenarnya kemungkinan besar jauh lebih tinggi," kata AAPP, dikutip dari Channel News Asia.
Baca juga: Wartawan Jepang Mengaku Dipukuli Saat Ditahan Militer Myanmar
Baca juga: Eks Ratu Kecantikan Myanmar Umumkan Angkat Senjata Lawan Junta Militer: Saatnya Berjuang
AAPP menambahkan, 4.120 orang saat ini ditahan oleh junta, termasuk 20 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman mati.
Lebih lanjut, Reuters tidak dapat secara independen memverifikasi korban tewas karena junta telah memberlakukan pembatasan pada media, layanan internet, dan siaran satelit.
Juru bicara junta juga tidak menjawab panggilan telepon saat dimintai tanggapan terkait korban tewas dan krisis di Myanmar.
Namun, junta sebelumnya memperdebatkan jumlah warga sipil yang tewas dan mengatakan puluhan anggota pasukan keamanan juga tewas selama protes.
Diketahui, beberapa pertempuran paling sengit sejak kudeta telah muncul dalam beberapa hari terakhir di Mindat.
Tentara junta dilaporkan telah bertempur dengan milisi lokal di Negara Bagian Chin, yaitu sekitar 100 kilometer dari perbatasan India.
Ribuan penduduk di kota perbukitan di barat laut Myanmar bersembunyi di hutan, desa dan lembah, setelah melarikan diri dari serangan militer, kata saksi mata.
Beberapa penduduk yang dihubungi Reuters mengatakan bahwa persediaan makanan menipis dan diperkirakan sebanyak 5.000 hingga 8.000 orang telah meninggalkan kota.