TRIBUNNEWS.COM, GAZA - Tentara zionis Israel telah menggempur kantong Palestina di Gaza dengan serangkaian serangan udara yang intens sejak 10 Mei.
Pertempuran terjadi setelah meningkatnya ketegangan di kawasan itu setelah Israel mengancam akan mengusir paksa warga Palestina di Yerusalem Timur.
Israel bahkan berulangkali menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa, sehingga melukai ratusan pengunjuk rasa Palestina.
Hingga hari kesepuluh Rabu (19/5), serangan Israel telah menewaskan 227 warga Palestina, termasuk 64 anak-anak. Sekitar 1.500 warga lainnya terluka.
Sementara serangan roket oleh Hamas dan kelompok Palestina lainnya telah menewaskan 12 orang di Israel, termasuk dua anak, dan melukai sedikitnya 300 orang.
Ratusan warga Palestina selamat meski mengalami luka-luka sekujur tubuh lantaran terkubur puing-puing.
Baca juga: POPULER Internasional: Pemimpin Hamas Surati Jokowi | 5 Negara Utama Pemasok Senjata ke Israel
Tak sedikit satu keluarga Palestina tewas dalam satu serangan. Ini beberapa kisah pilu mereka, seperti dilaporkan Aljazeera.
'Apa yang telah dilakukan anak-anak saya pada mereka?”
Jumat (14/5), lebaran hari kedua. Istri Mohammed al-Hadidi (37), Maha al-Hadidi, membawa empat anak mereka mengunjungi rumah paman mereka di kamp pengungsi Shati Kota Gaza. Daerah ini adalah satu di antara daerah terpadat di daerah kantong pantai.
Namun hari itu menjadi Idul Fitri terakhir bagi mereka, karena sebagian besar keluarga meninggal akibat serangan bom Israel malam itu.
“Mereka memakai baju lebaran, membawa mainan mereka dan pergi merayakan hari kedua Idul Fitri bersama anak paman mereka. Kemudian mereka menelepon saya meminta untuk bermalam di sana, saya mengizinkannya, mereka sangat gembira, ”kata al-Hadidi kepada Al Jazeera.
Al-Hadidi tinggal hanya beberapa meter dari tempat tidur anak-anaknya.
“Serangan udara Sabtu pukul 01.00 dini hari itu sangat mengerikan. Itu mengguncang daerah itu,” katanya.
“Saya akan ke luar ke jalan untuk melihat apa yang terjadi ketika seorang teman tetangga saya menelepon dan mengejutkan saya dengan memberi tahu bahwa rumah paman anak-anak saya telah menjadi sasaran,” tambahnya.
Baca juga: Israel Kembali Tutup Perbatasan Gaza dan Hentikan Pengiriman Bantuan Internasional
Maha (36), dan anak-anak mereka Abdel-Rahman (8), Suhaib (14), dan Yahya (11), tewas. Hanya putra mereka yang berusia lima bulan yang selamat.
"Tim penyelamat mengambil anak saya yang berusia lima bulan dari pelukan ibunya yang ditemukan tewas di bawah reruntuhan," kata al-Hadidi.
Bayi itu selamat tetapi wajahnya terluka dan kaki kanannya patah.
"Mereka tidak memberi peringatan, tiba-tiba misil menghantam rumah," kata al-Hadidi.
“Apa yang telah dilakukan anak-anak saya terhadap mereka? Apakah anak berusia lima bulan ini meluncurkan roket ke arah (Israel)?" tanyanya.
Baca juga: China Sebut Hak Veto Amerika Serikat Lemahkan Dewan Keamanan PBB Atas Kejahatan Perang Israel
Saudara laki-laki Maha, Youssef Abu Hatab, istri Yousef, Yasmin Hassan (31), dan ketiga anak mereka Yamen (5), Bilal (10), dan Youssef (11), tewas dalam serangan itu.
Tentara Israel berkilah dalam sebuah pernyataan bahwa serangan udara itu menargetkan Youssef Abu Hatab, yang disebut sebagai komandan senior Brigade Qassam, sayap bersenjata Hamas.
Tapi al-Hadidi mengatakan kepada Al Jazeera: “Dia bukan seorang komandan, ini bohong. Dia adalah pedagang peralatan listrik dan konstruksi biasa, dia tidak memiliki hubungan apa pun dengan kelompok bersenjata. "
"Tentara Israel tidak bisa membenarkan kesalahan membunuhi anak-anak yang tidak bersalah,” ujarnya.
'Dibom tanpa peringatan'
Jumat (14/5), lebaran hari kedua. Saat matahari terbenam, Lina al-Mutrabai'I (26) sedang menata meja untuk makan malam ketika sebuah ledakan mengguncangkan rumahnya. Langit-langit ambruk, menutupi dirinya dan putrinya Sara Zaher (4) di reruntuhan.
“Saya bergegas menyingkirkan puing-puing di atas tubuh saya, lengan dan bahu saya terluka, tetapi saya memikirkan putri saya pada saat itu. Saya menggendongnya dan pergi ke aula di mana suami saya menemukan kami dan membawa kami ke rumah sakit,” paparnya.
Baca juga: Israel Serang Lab Utama Covid-19 di Gaza, Saksi Mata: Tak Ada Tempat Aman di Sini
Sebuah serangan Israel, juga tanpa peringatan, telah mengincar sebuah apartemen tepat di atas apartemen mereka di sebuah bangunan tempat tinggal di jantung Kota Gaza.
Sara Zaher terluka parah oleh pecahan peluru yang mengenai punggung, kaki, dan kepalanya.
“Cedera putri saya serius, dan dia membutuhkan rujukan untuk perawatan di Mesir. Saya berharap ini akan dilakukan dengan cepat, "al-Mutrabai'i.
“Saya khawatir rumah sakit Mesir tidak cukup terspesialisasi untuk merawat (luka putri saya], tetapi Mesir adalah satu-satunya negara yang menawarkan untuk membantu kami,” katanya penuh harap.
'Kegembiraan hidupku hilang'
Farhha Ibrahim Khalil Junaid (38), sedang berada di dapur ketika dia mendengar suara rudal drone yang menghantam sepeda motor di jalan dekat rumahnya.
“Dua putra saya (Mohammed, 11, dan Salem, 17) yang bermain di atap mulai berteriak kepada saya:‘ Bu! … Kakak-kakak mati di jalan!,” katanya.
Junaid membeku beberapa saat karena terkejut, lalu lari ke jalan. Ia menemukan putranya, Musa (19), terbaring di tanah. Pecahan peluru telah menembus jantungnya, dan dia tewas di tempat.
Baca juga: WNI di Gaza Ceritakan Kebrutalan Israel, Rumah Warga dan Infrastruktur Dihujani Ratusan Roket
Putranya yang lain, Wasim (21), terluka parah di kepala dan kaki akibat pecahan peluru, dan tetap syok serta tidak dapat berbicara. Putranya yang berusia lima tahun, Ibrahim, terluka oleh pecahan peluru di perutnya.
Dia juga menemukan dua orang di atas sepeda motor yang telah tewas, dan tujuh orang lainnya terluka tergeletak di tanah - termasuk anak-anak. Satu-satunya toko di dekat rumahnya hancur.
“Ibrahim tidak bisa makan apa-apa, dia hanya bisa minum air dan perlu segera dipindahkan ke rumah sakit Mesir untuk perawatan yang lebih baik,” kata Junaid.
“Wasim masih belum tahu kalau kakaknya sudah syahid,” katanya seraya menambahkan, Wasim juga membutuhkan perawatan medis di luar Gaza.
“Wasim adalah murid yang cerdas. Sekarang dia sedang belajar IT di tahun ketiga,” kata Junaid.
“Musa, yang meninggal, sedang belajar di tahun pertamanya di universitas yang dia inginkan untuk menyelesaikan gelar sarjana akuntansi. Dia memimpikan masa depan yang lebih baik,” tambahnya.
Kematian anak-anaknya meninggalkan kesedihan mendalam. “Kegembiraan hidup saya hilang,” kata suaminya, Khamis Junaid (38).
"Saya berdoa agar tidak ada orang tua lain yang menghadapi kehilangan dan kesedihan yang saya hadapi."
Baca juga: Tak Peduli Desakan untuk Akhiri Konflik, PM Israel Justru Berjanji Lanjutkan Serangan ke Jalur Gaza
'Saya bisa mendengar anak-anak saya berteriak'
Riyad Eshkontana (42), berada di apartemennya di Kota Gaza pada Minggu (16/5) dini hari. Ia menonton berita sementara istrinya sedang memeriksa anak-anak mereka yang sedang tidur. Sebuah kilatan merah dan kuning menerangi ruangan dan gedung mulai bergetar hebat.
“Saya lari ke anak-anak saya dan berteriak kepada istri saya, menyuruhnya membawa anak-anak keluar kamar,” kenangnya.
"Tapi dalam beberapa detik, seluruh tempat itu runtuh, dan kami terkubur puing-puing," kata Riyad.
“Lima jam saya di bawah puing-puing, saya dapat mendengar anak-anak saya berteriak dan meminta bantuan. Tapi saya tidak bisa membantu mereka karena puing-puing menutupi kepala, dada, dan salah satu jari saya terpotong,” kata Eshkontana.
Dua putrinya yang masih kecil, dua putra, dan istrinya dibunuh saat itu.
Baca juga: Cerita Korban Serangan Israel di Jalur Gaza, Anak-anak Teriak dan Menangis, Momen Itu Mengerikan
Putrinya yang berusia tujuh tahun, Souzi, selamat, tetapi dia tidak dapat berbicara atau makan sejak dia diselamatkan dari puing-puing.
Eshkontana dan keluarganya tinggal di gedung Abu al-Ouf, di daerah pemukiman kelas atas, yang menjadi sasaran serangan udara Israel, tanpa peringatan sebelumnya.
Serangan dini hari itu menewaskan sedikitnya 42 warga Palestina dan menjadikannya hari paling mematikan dari putaran pertempuran terakhir.
Rentetan rudal juga meratakan setidaknya empat bangunan lain di jalan yang sama.
“Tidak ada aksi militer di gedung ini, jika saya tahu bahwa ini adalah kawasan militer, saya tidak akan hidup di sana bersama anak-anak saya yang saya cintai dan ingin saya lindungi,” kata Eshkontana.
“Semua tetangga saya adalah orang-orang yang dihormati dan kebanyakan dari mereka adalah dokter - semuanya adalah orang-orang yang baik dan baik, semuanya terbunuh dalam serangan yang sama,”katanya. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)