TRIBUNNEWS.COM - Rekor pemerintahan Benjamin Netanyahu selama 12 tahun sebagai Perdana Menteri Israel tampaknya akan segera berakhir.
Rival politiknya belum lama ini menyatakan bergabung dan membentuk koalisi anti-Netanyahu.
Masing-masing dari empat pemilu terakhir dipandang sebagai referendum terhadap Netanyahu.
Koalisi baru muncul setelah politisi sayap kanan Israel, Naftali Bennett bergabung dengan pemimpin sentris Yair Lapid.
Baca juga: 65 Persen Masyarakat Indonesia Meyakini Konflik Israel-Palestina Soal Agama
Naftali Bennete (49) adalah menteri pertahanan di era Netanyahu.
"Niat saya untuk melakukan yang terbaik, membentuk pemerintahan persatuan nasional bersama dengan teman saya, Yair Lapid," ucap Bennett pada Minggu (30/5/2021).
"Sehingga, Insya Allah, bersama-sama kita dapat menyelamatkan negara dari kekacauan dan mengembalikan Israel ke jalurnya," tambahnya.
Sementara itu, Netanyahu menyebut rencana koalisi itu sebagai "bahaya bagi keamanan Israel".
Ia menuduh Bennett mengkhianati sayap kanan Israel dan mendesak politisi nasionalis yang telah bergabung dalam pembicaraan koalisi untuk tidak mendirikan apa yang disebutnya sebagai "pemerintah kiri."
Baca juga: Profil Benjamin Netanyahu, Jabat Perdana Menteri Israel Selama 12 Tahun
Media Israel melaporkan, di bawah ketentuan kesepakatan yang diusulkan, Bennett dan Lapid akan bergantian sebagai perdana menteri, tetapi belum dikonfirmasi secara resmi.
Koalisi itu muncul setelah 11 hari serangan Israel di Gaza berakhir dengan gencatan senjata.
Melansir Al Jazeera, berikut beberapa detail utamanya:
Partai mana yang tergabung dalam koalisi?
Koalisi baru muncul setelah Bennett, seorang pemimpin Partai Yamina (Kanan) memiliki enam kursi di parlemen.
Ia bergandengan tangan dengan Partai Lapid, Yesh Atid.
Dengan 17 kursi, Yesh Atid adalah partai terbesar kedua di 120 anggota Knesset, parlemen Israel.
Aliansi kanan-tengah yang dipimpin oleh Partai Likud Netanyahu muncul sebagai kelompok terbesar dalam pemilihan April.
Partai ini memiliki lebih dari 50 kursi, tetapi kurang dari 61 kursi yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan.
"Aliansi anti-Netanyahu akan rapuh dan membutuhkan dukungan dari luar oleh anggota parlemen Palestina-Israel," kata para ahli.
Baca juga: Survei SMRC: Pemilih Jokowi dan Prabowo Mayoritas Tolak Akui Keberadaan Israel
61 kursi yang menduduki parlemen terdiri dari:
Yesh Atid - 17
Sekutu Yesh Atid - 34
Yamina - 6
United Arab List - 4
Koresponden Harry Fawcett dari Al Jazeera mengatakan, Lapid kemungkinan besar juga akan memasukkan Partai United Arab Listu dalam koalisi.
"Partai Lapid perlu memperkuat semua kesepakatan bilateral dengan berbagai partai konstituen saat koalisi ini dibentuk," tuturnya.
Apa agenda mereka?
Koalisi ini diharapkan fokus pada pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.
Bennett secara terbuka menentang solusi dua negara dari konflik Israel-Palestina.
Berita lain terkait dengan Politik Israel
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)