"Palestina telah melihat lusinan pemerintah Israel sepanjang sejarah, kanan, kiri, tengah, begitu mereka menyebutnya."
"Tetapi mereka semua bermusuhan ketika menyangkut hak-hak rakyat Palestina kami dan mereka semua memiliki kebijakan ekspansionisme yang bermusuhan," kata juru bicara Hamas, Hazem Qassem.
Politikus Palestina, Sami Abou Shehadeh mengatakan bahwa dari pergantian perdana menteri ini, yang paling penting adalah kebijakannya di masa depan.
"Yang kita butuhkan adalah perubahan serius dalam kebijakan Israel, bukan dalam kepribadian. Situasinya sangat buruk sebelum Netanyahu, dan selama Israel bersikeras pada kebijakannya sendiri, itu akan terus menjadi buruk setelah Netanyahu. Inilah sebabnya kami menentang pemerintah ini (koalisi baru)."
Untuk pertama kalinya, Partai Arab-Islam masuk dalam koalisi calon Perdana Menteri Israel baru.
Partai Arab-Islam ini merupakan partai yang dipilih oleh anggota minoritas Arab-Israel sebesar 21 persen.
Politisinya merupakan warga Palestina berdasarkan budaya dan warisan, namun berkewarganegaraan Israel.
Pemimpin partai ini, Mansour Abbas mengatakan perjanjian koalisi ini akan menghasilkan lebih dari USD 16 miliar untuk negara.
Dimana dana tersebut bisa difungsikan untuk peningkatan infrastruktur dan memerangi kekerasan di kota-kota di Arab.
Namun keputusan Abbas ini mendapat kritikan dari warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Abbas dinilai berpihak pada Israel yang disebut 'musuh'.
"Dia adalah pengkhianat. Apa yang akan dia lakukan ketika mereka memintanya untuk memilih meluncurkan perang baru di Gaza?" kata salah satu warga Gaza, Badri Karam.
"Apakah dia akan menerimanya, menjadi bagian dari pembunuhan warga Palestina?" tanyanya.
Baca juga: Profil Yair Lapid, Pemimpin Oposisi yang Menantang Benjamin Netanyahu dalam Pemilu Israel
Baca juga: Partai Oposisi Israel Siap Gulingkan Perdana Menteri Netanyahu, Pertama Kalinya Partai Arab Gabung
Koalisi Baru Calon PM Israel