TRIBUNNEWS.COM - Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Kyaw Moe Tun telah memperingatkan badan dunia itu tentang "laporan pembantaian" oleh rezim militer Myanmar.
Kyaw Moe Tun mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang mengatakan bahwa telah ditemukan 40 mayat di Kotapraja Kani, di daerah Sagaing di barat laut Myanmar pada bulan Juli, lapor kantor berita AFP, Rabu (4/8/2021).
Pemimpin militer Myanmar menyangkal tuduhan itu.
Sementara AFP mengatakan tidak dapat memverifikasi laporan secara independen karena jaringan seluler terputus di wilayah Sagaing.
Kyaw Moe Tun menuduh bahwa tentara menyiksa dan membunuh 16 pria di sebuah desa di kotapraja sekitar 9 dan 10 Juli.
Baca juga: ASEAN Setujui Menlu Kedua Brunei Erywan Yusof Jadi Utusan Khusus Soal Myanmar
Baca juga: Jenderal Min Aung Hlaing Jadi Perdana Menteri, Militer Myanmar Bakal Berkuasa hingga 2023
Menyusul insiden itu, katanya, 10.000 penduduk meninggalkan daerah tersebut.
Dia mengatakan, 13 mayat lagi ditemukan pada hari-hari setelah bentrokan antara pejuang lokal dan pasukan keamanan pada 26 Juli.
Kyaw Moe Tun menambahkan bahwa 11 pria lainnya, termasuk seorang anak laki-laki berusia 14 tahun, tewas dan dibakar di sebuah desa terpisah pada 28 Juli.
Dalam surat itu, duta besar mengulangi seruannya bagi embargo senjata global terhadap militer dan intervensi kemanusiaan mendesak dari komunitas internasional.
“Kami tidak bisa membiarkan militer terus melakukan kekejaman seperti ini di Myanmar,” kata Kyaw Moe Tun kepada AFP, seperti dilansir dari Al Jazeera.
Baca juga: Inggris: Setengah Penduduk Myanmar Dapat Terinfeksi Covid-19 Dalam Dua Minggu Ke Depan
Baca juga: Blinken Desak ASEAN Ambil Aksi soal Konflik Myanmar, RI Merespon
“Sudah waktunya bagi PBB, khususnya Dewan Keamanan PBB, untuk mengambil tindakan,” katanya.
Ancaman terhadap diplomat
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara mengambil alih kekuatan dari kepemimpinan sipil pada 1 Februari.
Kelompok pematau lokal mengatakan, militer melancarkan tindakan keras terhadap pro-demokrasi, sehingga telah menewaskan lebih dari 900 orang.
Kyaw Moe Tun menolak melepaskan posisinya di PBB meskipun ia dipecat setelah militer merebut kekuasaan dalam kudeta enam bulan lalu. PBB masih menganggapnya sebagai utusan yang sah.
Ia dipecat sehari pemimpin militer Februari lalu, sehari setelah ia mengacungkan salam tiga jari dalam sidang Majelis Umum PBB setelah pidato menuntut pemerintahan sipil dipulihkan.
Baca juga: Aung San Suu Kyi, Pemimpin Myanmar yang Digulingkan Sudah Divaksinasi
Baca juga: Militer Myanmar Tembak Mati 25 Warga, Total 888 Orang Telah Dibunuh Sejak Kudeta
Isyarat “Hunger Games” telah banyak digunakan oleh para demonstran pro-demokrasi di negara itu dan di negara tetangga Thailand.
Kyaw Moe Tun berulang kali menyerukan intervensi internasional untuk membantu mengakhiri kerusuhan di Myanmar.
Ia mengatakan kepada PBB Rabu kemarin bahwa pihak berwenang Amerika Serikat sedang meningkatkan keamanannya setelah ada ancaman terhadap dirinya.
"Ada laporan ancaman terhadap saya," katanya kepada AFP.
“Polisi dan otoritas keamanan di sini di New York sedang menanganinya,” ujarnya. Namun ia atidak memerinci tentang ancaman itu.
Baca juga: 40 Tentara Myanmar Dilaporkan Tewas dalam Bentrokan dengan Pasukan Anti-Junta
Baca juga: Junta Militer Myanmar Bakar Desa, Pemimpin ASEAN Harus Lebih Tegas
Pemimpin militer Myanmar Min Aung Hlaing hari Minggu (1/8/2021) lalu mengatakan, pemilihan akan diadakan dan keadaan darurat dicabut pada Agustus 2023.
Padahal saat merebut kekuasaan Feruari lalu, militer mengumumkan batas waktu satu tahun.
Kelompok penentang kudeta Myanmar dan komunitas internasional mengutuk pengumuman itu.
Disebutkan, itu sebagai taktik penundaan untuk mencegah kembalinya negara itu ke pemerintahan demokratis. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)