TRIBUNNEWS.COM, NAYPYITAW - Seorang biksu dan seorang pelaut pemula termasuk diantara kelompok orang yang terpaksa memisahkan diri dari masyarakat dan tinggal di sebuah bangunan yang tidak berpenghuni di Myanmar.
Hal itu karena keputusan mereka untuk memberikan pelayanan sosial dengan menjadi relawan yang membantu menguburkan para korban virus corona (Covid-19).
Sementara keluarga mereka yang khawatir terkait virus tersebut, menyuruh mereka untuk menjauh.
Dikutip dari laman Channel News Asia, Rabu (11/8/2021), lonjakan kasus infeksi di Myanmar telah diperparah minimnya fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).
Banyak rumah sakit yang kosong, karena mayoritas tenaga kesehatan (nakes) yang seharusnya bertugas, justru bergabung dengan aksi pemogokan nasional yang menentang kudeta militer sejak Februari lalu.
Thar Gyi, salah satu dari 20 relawan yang tinggal di gedung itu, hingga saat ini belum pulang untuk kembali tinggal bersama keluarganya.
Baca juga: AS Berikan Bantuan 50 Juta Dolar AS Ke Myanmar, Saat Krisis Kemanusiaan Memburuk
Ia pergi selama hampir tiga bulan, setelah seorang pasien yang ia bawa menggunakan ambulansnya dinyatakan positif terinfeksi Covid-19.
"Sejak saat itu, mereka meminta saya untuk tidak kembali, mereka mengirim tas saya ke sini," kata Gyi di kota Taungoo.
Perlu diketahui, timnya memang menjalankan layanan ambulans yang mengangkut pasien sakit serta mengambil mayat untuk proses kremasi dan penguburan.
Pada malam hari, mereka kembali ke gedung yang dulu merupakan bagian dari universitas kota namun sekarang dibiarkan kosong, hanya sekadar untuk makan bersama, bersantai dan bermain menggunakan ponsel mereka.
Gyi sebenarnya tengah bersiap untuk melakukan perjalanan, karena ia telah mendapatkan posisi di perusahaan pelayaran Barat, namun karena pandemi melanda, ia pun terpaksa menunda pekerjaannya itu.
Seperti kebanyakan orang, ia juga telah terinfeksi Covid-19 dan dinyatakan sembuh (penyintas)
Namun keluarganya tetap ingin dirinya menjauh, terlebih saat ini ia juga mengisi kekosongan waktunya itu dengan melakukan pekerjaan sebagai pembawa mayat.
"Bahkan jika saya kembali, saya hanya berbicara dengan mereka di depan pintu masuk, tanpa masuk ke dalam rumah. Mereka memang memasak apapun yang ingin saya makan, tapi mereka meletakkannya di pintu luar rumah, karena mereka tidak mengizinkan saya masuk," kata Gyi.
Sementara itu rekan relawan lainnya yang juga membawa ambulans, Kumara, sebelumnya telah menjadi biksu selama 17 tahun.
Namun ia memutuskan untuk sementara waktu meninggalkan tempatnya mengabdi, demi membantu mengorganisir kelompok relawan, saat gelombang ketiga infeksi Covid-19 melanda Myanmar pada Juni lalu.
Kumara pun merupakan penyintas Covid-19, namun ia memutuskan untuk menjauhkan diri.
Karena dirinya mengetahui bahwa masyarakat sudah menjadikan Covid-19 sebagai hal yang sangat mengerikan.
"Orang-orang tidak suka ambulans parkir di depan rumah mereka. Mereka kabur dan langsung menutup hidung, mereka pikir ambulans kami membawa virus," kata Kumara.