TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyinggung soal krisis yang terjadi di Myanmar dalam pidatonya saat membuka Sidang Umum PBB pekan lalu.
Guterres memperkirakan negara yang kini dikuasai pemerintah militer atau junta itu, masih jauh dari perdamaian dan stabilitas.
Menurut Guterres, dukungan bagi Myanmar dalam menuntut demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia, dan supermasi hukum, memang tak tergoyahkan.
Namun, PBB tidak mungkin mengambil tindakan berarti terhadap junta karena militer mendapatkan dukungan dari China dan Rusia.
China dan Rusia adalah negara-negara yang menjadi pemasok senjata utama ke Myanmar, serta secara ideologis bersimpati kepada militer.
Baca juga: Bentrok Milisi dan Militer Myanmar di Perbatasan India: Rumah Warga Dibakar, 10 Ribu Orang Mengungsi
Kedua negara itu juga merupakan anggota Dewan Keamanan, dan hampir pasti akan memveto setiap upaya PBB untuk memberlakukan embargo senjata terkoordinasi, atau apapun di luar seruan perdamaian.
Sementara itu, situasi di Myanmar setelah perebutan kekuasaan oleh militer delapan bulan lalu telah menjadi konflik berdarah yang berkepanjangan.
Kudeta tersebut memicu protes yang meluas yang coba dihancurkan oleh pasukan keamanan dengan menggunakan kekerasan.
Hingga saat ini, lebih dari 1.100 orang telah terbunuh, menurut Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Akibatnya, para demonstran mulai melakukan perlawanan menggunakan senjata rakitan sederhana dan kemudian mengorganisir diri mereka menjadi milisi lokal yang mereka sebut "pasukan pertahanan rakyat".
Meski demikian, perlawanan tersebut menimbulkan kekhawatiran Bachelet, karena memicu kemungkinan perang saudara.
"Cengkeraman besi militer pada kekuasaan menghadapi perlawanan dari sebagian besar masyarakat. Senjata perang terus dikerahkan di kota-kota besar dan kecil untuk menekan oposisi," kata Bachelet, dikutip dari CNA.
"Tren yang mengganggu ini menunjukkan kemungkinan yang mengkhawatirkan dari perang saudara yang meningkat," tambah Bachelet.
Perlawanan demonstran terhadap militer juga mendapatkan tanggapan dari Mon Yee Kyaw, direktur eksekutif lembaga pemikir Nyan Lynn Thit Analytica yang berbasis di Myanmar.