Ia sempat melakukan wawancara kepada New York Times awal tahun ini tetapi belum membuat penampilan publik dan berbicara langsung ke Libya.
Baca juga: Libya Hadapi Potensi Bencana Lebih Dahsyat Ketimbang Ledakan di Beirut
Baca juga: AS Serukan Penarikan Pasukan Rusia dan Turki dari Libya, setelah Langgar Batas Waktu yang Ditentukan
Ambisinya mengejar kursi presiden pun diperumit oleh kasus peradilan in absentia oleh pengadilan Tripoli terhadap dirinya pada 2015. Saat itu ia muncul melalui tautan video dari Zintan.
Dia dijatuhi hukuman mati karena kejahatan perang, termasuk pembunuhan pengunjuk rasa selama pemberontakan satu dekade lalu, tetapi kemudian diampuni.
Dia juga dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ibrahim Fraihat, seorang profesor resolusi konflik di Doha Institute, mengatakan Saif al-Islam Khaddafi memiliki beberapa dukungan di antara mantan loyalis rezim, dan juga dalam kekuatan suku tertentu.
“Saya pikir dia tidak berpeluang untuk memenangkan pemilihan ini, saya pikir ia juga menyadari ia tidak memiliki peluang,” tambah Fraihat.
Baca juga: Erdogan: Libya Minta Bantuan, Turki Akan Segera Kirim Pasukan
Baca juga: Mantan Perdana Menteri Libya Mahmoud Jibril Meninggal Dunia karena Virus Corona
“Ini pesan politik darinya, bahwa ia kembali ke panggung politik dan turut ambil bagian, dan bahwa dia dapat mencalonkan diri dalam pemilihan dan dia mengabaikan permintaan Pengadilan Kriminal Internasional agar dia diserahkan,” katanya.
Dididik di London School of Economics dan fasih berbahasa Inggris, Saif al-Islam Khaddafi pernah dilihat oleh banyak pemerintah sebagai wajah Libya yang dapat diterima dan ramah Barat, dan kemungkinan pewaris.
Tetapi ketika pemberontakan pecah pada tahun 2011 melawan pemerintahan lama Muammar Khaddafi, Saif al-Islam segera memilih kesetiaan keluarga dan klan daripada banyak persahabatannya di Barat.
“Kami berjuang di sini di Libya; kita mati di sini di Libya,” katanya ke Reuters. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)