TRIBUNNEWS.COM - Rangkuman berita populer Tribunnews di kanal Internasional dapat disimak di sini.
Dokter bedah di Austria dikenai denda Rp43,8 juta karena salah amputasi kaki pasien.
Sementara itu, Asosiasi Tenis Wanita (The Women's Tennis Association-WTA) akan segera menangguhkan semua turnamen di China, termasuk Hong Kong, imbas pengabaian kasus pelecehan Peng Shuai.
Mengenai insiden penembakan di Oxford High School Michigan, seorang siswa 15 tahun didakwa pembunuhan dan terorisme.
Soal Covid-19 varian Omicron, Afrika Selatan yang merasa dikucilkan mengkritik aturan pembatasan perjalanan di sejumlah negara.
Selengkapnya, berikut berita populer Internasional dalam 24 jam terakhir.
1. Salah Amputasi Kaki Pasien, Dokter Bedah di Austria Didenda Rp43,8 Juta
Seorang ahli bedah di Austria didenda lantaran salah mengamputasi kaki pasien.
Divonis Diabetes Suti Karno Harus Amputasi Kaki, Kenali Sejak Dini Agar Terhindar Dari Amputasi Kaki
Dokter RS Dharmais Harus Amputasi Kaki Siswa SD Korban Perundungan Teman Sekolahnya di Tambun Bekasi
Dilansir BBC, insiden salah amputasi terjadi pada awal tahun ini dan pengadilan memutuskan hukumannya pada Rabu (1/12/2021).
Dokter bedah itu mengamputasi kaki kanan seorang pasien lanjut usia (lansia) yang berusia 82 tahun.
Padahal kaki kirinya yang seharusnya mendapat penanganan medis itu.
Kesalahan ini baru disadari setelah dua hari pascaoperasi.
Baca juga: Tertimpa Tembok Rumah yang Roboh, Kaki Seorang Ibu Harus Diamputasi Demi Selamatkan Nyawanya
Baca juga: Amerika Serikat Kutuk Rencana Taliban untuk Lanjutkan Hukuman Amputasi dan Eksekusi di Afghanistan
Pada Rabu (1/12/2021), pengadilan di Kota Linz memutuskan dokter bedah itu bersalah.
Wanita berusia 43 tahun tersebut dinilai melakukan kelalaian berat dan dijatuhi denda € 2.700 atau sekira Rp43,8 juta.
Sementara itu pasien lansia, yang meninggal sebelum kasus ini dibawa ke pengadilan, juga diberi ganti rugi €5.000 sekira Rp81,4 juta.
Ganti rugi itu diberikan kepada istri mendiang pasien tersebut.
AFP melaporkan, insiden salah amputasi ini bermula ketika pasien datang ke klinik di Kota Freistadt pada Mei lalu untuk menjalani proses amputasi kaki.
2. Asosiasi Tenis Wanita Tangguhkan Turnamen di China, Imbas Pengabaian Kasus Pelecehan Peng Shuai
Asosiasi Tenis Wanita (The Women's Tennis Association-WTA) akan segera menangguhkan semua turnamen di China, termasuk Hong Kong.
Hal itu sebagai tanggapan atas tindakan pemerintah China yang dianggap telah mengabaikan kasus pelecehan seksual yang dilakukan mantan Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli terhadap atlet tenis Peng Shuai.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Rabu (2/12/2021), Ketua dan CEO WTA Steve Simon mengatakan keputusan itu didasarkan pada tanggapan dari pejabat China dalam skandal #MeToo.
Selain itu juga termasuk pemblokiran unggahan Peng Shuai di Weibo dan pengabaian seruan untuk melakukan penyelidikan penuh dan transparan terhadap kasus yang menimpa bintang tenis itu.
Dikatakan Simon, pihaknya tidak dapat mengadakan turnamen di negara di mana atlet-nya tidak diizinkan berkomunikasi secara bebas.
Baca juga: Keberadaan Mantan Wakil PM China Zhang Gaoli setelah Dituduh Lakukan Pelecehan ke Petenis Peng Shuai
Dia juga mempertimbangkan risiko yang dapat dihadapi jika tetap mengadakan acara di China pada 2022 mendatang.
"Dalam hati nurani yang baik, saya tidak melihat bagaimana saya dapat meminta atlet kami untuk bersaing di sana ketika Peng Shuai tidak diizinkan untuk berkomunikasi secara bebas dan tampaknya telah ditekan untuk membantah tuduhan penyerangan seksualnya," kata Simon dikutip dari CNN.
"Mengingat keadaan saat ini, saya juga sangat prihatin dengan risiko yang dapat dihadapi semua pemain dan staf kami jika kami mengadakan acara di China pada 2022," lanjutnya.
Simon kemudian menyayangkan sikap pemerintah China yang belum menanganai masalah pelecehan seksual yang dialami Peng Shuai.
Simon pun meragukan kondisi Peng Shuai saat ini, apakah atlet itu benar-benar aman atau tidak.
3. Siswa 15 Tahun Didakwa Pembunuhan dan Terorisme atas Penembakan di Oxford High School Michigan
Ethan Crumbley, siswa laki-laki berusia 15 tahun didakwa dengan pembunuhan dan terorisme atas penembakan di Oxford High School, Michigan.
Akibat insiden yang berlangsung pada Selasa sore (30/11/2021), empat orang siwa meninggal dunia dan beberapa orang lainnya terluka.
Sebelumnya, Sheriff Mike Bouchard mengatakan kepada wartawan bahwa orang tua Crumbley dipanggil ke sekolah di hari kejadian karena anaknya memiliki catatan perilaku yang mengkhawatirkan di kelas.
Dilansir APNews, otoritas Oakland County tidak membagikan motif dari penembakan tersebut.
Baca juga: Pengakuan Terbaru Alec Baldwin Soal Penembakan di Lokasi Syuting: Saya Tak Menarik Pelatuknya
Baca juga: Kasus Penembakan di Bintaro, Ipda OS dan Pelapor yang Merasa Dibuntuti Ternyata Saling Kenal
Namun jaksa Karen McDonald mengatakan penembakan itu direncanakan, berdasarkan "segunung bukti digital" yang dikumpulkan oleh polisi.
"Ini bukan hanya tindakan impulsif," kata McDonald.
Memang, Lt. Tim Willis sheriff mengatakan kepada hakim bahwa Ethan Crumbley merekam video malam sebelum kekerasan di mana dia membahas pembunuhan siswa.
4. Dikucilkan Gara-gara Omicron, Afrika Selatan Kritik Aturan Pembatasan Banyak Negara
Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa mengatakan negaranya 'sedang dihukum' karena mendeteksi varian baru virus corona (Covid-19) Omicron yang masuk dalam kategori 'varian yang menjadi perhatian'.
Ia pun mendesak negara-negara yang 'mengucilkan' Afsel untuk mencabut larangan perjalanan yang diberlakukan di tengah kekhawatiran terkait kemunculan varian baru.
"Ilmu pengetahuan yang sangat baik harus diapresiasi, bukan dihukum," kata Ramaphosa selama kunjungan kenegaraannya ke Nigeria pada Rabu kemarin.
Dikutip dari laman Russia Today, Kamis (2/12/2021), Ramaphosa mencatat bahwa semakin banyak negara yang telah memberlakukan larangan perjalanan ke dan dari Afrika Selatan.
"Ini dilakukan sebagai akibat dari penemuan ilmuwan kami tentang varian yang baru, varian Omicron dari virus corona. Kami berharap negara-negara yang memberlakukan larangan ini segera mempertimbangkan kembali keputusan mereka," jelas Ramaphosa.
Ia memang mengakui bahwa negara-negara itu memiliki hak untuk 'mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan demi melindungi warganya'.
Baca juga: Pemerintah Keluarkan Aturan Baru Masa Karantina dan Pelancong dari Afrika Selatan
Namun dirinya menekankan bahwa 'pandemi ini membutuhkan kolaborasi dan berbagi keahlian'.
Ia pun menyerukan agar negara-negara lain di Afrika bersatu melawan tindakan pembatasan 'sewenang-wenang, tidak ilmiah dan diskriminatif' ini.
Tanggapan Ramaphosa ini pun menggemakan pernyataan yang sebelumnya dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan selama akhir pekan lalu.
Kementerian itu juga menyatakan bahwa negara tersebut 'dihukum' karena 'ilmunya yang luar biasa'.
(Tribunnews.com)