Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, NAKHON PATHOM - Bisnis peternak babi Thailand Jintana Jamjumrus telah terseok-seok sejak dua tahun lalu, setelah puluhan hewannya mengalami demam dan mati dalam beberapa hari, karena penyakit misterius yang dicurigai sebagai demam babi Afrika (ASF).
Bulan ini, para pejabat negara itu mengidentifikasi kasus pertama demam babi Afrika di provinsi Nakhon Pathom, setelah bertahun-tahun mengatakan bahwa virus itu bukan di Thailand.
Dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (30/1/2022), temuan ini memicu badai politik saat harga daging babi mencapai titik tertinggi sepanjang masa di negara itu, di mana kenaikan harga ini mungkin akan bertahan selama berbulan-bulan.
Baca juga: Overstay, 18 WNA Asal Afrika Ketahuan Ngumpet di Apartemen Gading Nias
Baca juga: 3 Pemasang Setrum Hama Babi yang Menewaskan Petani di OKU Selatan Ditangkap
"Tidak mungkin mereka tidak tahu, babi mati di seluruh negeri, mengapa ditutup-tutupi?. Apa yang bisa mereka lakukan sekarang? Tidak ada yang tersisa," kata Jintana, saat bertanya tentang kematian yang terjadi pada babi di tahun-tahun sebelumnya.
Di parlemen, seorang anggota oposisi menuduh pemerintah menutup-nutupi temuan ini selama bertahun-tahun, meskipun seorang Wakil Menteri Pertanian membantahnya dan mengatakan pihak berwenang telah berhasil mencegah penyakit itu pada tahun-tahun sebelumnya.
Namun para petani kecil, yang telah mengalami kerugian hingga 54 persen akhirnya 'menepi sementara' dari bisnis itu pada tahun lalu.
Mereka skeptis, terutama karena virus yang tidak ada vaksinnya itu telah membunuh ratusan juta babi di Eropa dan Asia sejak 2018 lalu.
"Saya harus membiarkan yang sakit itu mati dan menjual yang sehat, bisnis saya habis-habisan," tegas Jintana.
Para petani kecil menilai bahwa jika peringatan disampaikan sebelumnya, maka tentu akan menyelamatkan mata pencaharian mereka.
Selain itu, mungkin juga dapat mencegah kekurangan stok daging babi yang mendorong harga eceran di Bangkok menjadi 215 baht atau 6,47 dolar Amerika Serikat (AS) per kilogram pada 11 Januari lalu, rata-rata harian tertinggi dalam database sejak 2001.
Tingginya harga ini kemudian menyebabkan larangan ekspor hewan hidup hingga April mendatang, dan harga bisa tetap tinggi karena produksi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk kembali pulih.
Ini menempatkan tekanan lebih lanjut pada masyarakat pedesaan yang sudah terseok-seok karena kerugian pada bisnis babi ini.
"Sejak konfirmasi tersebut, Thailand telah menemukan demam babi Afrika di 22 wilayah dari 13 provinsi dan memusnahkan lebih dari 400 babi, semuanya ada di peternakan kecil," kata Direktur Biro Pengendalian Penyakit dan Layanan Hewan, Bunyagith Pinprasong.
Pada periode 2019 hingga 2021, otoritas peternakan negara itu telah memusnahkan hampir 300.000 babi yang dianggap berisiko tinggi terkena demam babi Afrika, meskipun tidak pernah terdeteksi dalam sampel babi yang mati.
Ia menyampaikan bahwa sebagian besar kematian babi sebelumnya, disebabkan sindrom reproduksi dan pernafasan babi (PRRS).
"Kami menerapkan langkah-langkah yang ketat dan efektif untuk mencegah ASF, sehingga tidak ditemukan sebelumnya. Kami akan mengendalikan dan menekan penyebarannya sampai vaksin dikembangkan," jelas Bunyagith.