TRIBUNNEWS.COM, UKRAINA - Presiden Rusia, Vladimir Putin diyakini mengamuk setelah serangannya ke Ukraina belum juga bisa menduduki kota besar di negara itu.
Padahal, Sabtu (26/2/2022) kemarin sudah menjadi hari ketiga Rusia melakukan penyerangan ke Ukraina.
Pasukan Rusia dilaporkan telah melakukan pertempuran di jalanan menuju Kiev pada Sabtu pagi.
Tetapi, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan tentaranya telah berhasil mempertahankan kota itu dan membuat situasi di Kiev terkontrol.
Adalah Mantan Kepala Pertahanan Anggota NATO Estonia, Riho Terras yang mengatakan Putin saat ini tengah mengamuk.
“Putin sangat marah, ia pikir seluruh perang akan mudah, dan semuanya akan selesai dalam waktu 1 hingga 4 hari,” cuit Terras di Twitter seperti dikutip dari New York Post.
Baca juga: Mengenal Spetsnaz Fatal Beauty, Pasukan Khusus Wanita Rusia yang Cantik-cantik Tapi Mematikan
“Rusia merasa kaget dengan menakutkannya perlawanan yang mereka hadapi,” tambah Terras.
Ia mengklaim laporan itu menunjukkan bahwa Rusia tak memiliki rencana taktis untuk menghadapi perlawanan Ukarina.
Terras menyatakan bahwa seluruh rencana invasi Rusia bergantung pada usaha menabur kepanikan di antara warha sipil dan angkatan bersenjata.
Selain itu juga dengan memaksa Zelensky untuk melarikan diri.
Terras juga memposting gambar yang tampaknya merupakan laporan intelijen yang ditulis dalam bahasa Rusia.
“Putin mengamuk. Ia sebelumnya yakin bahwa itu akan mudah sekali,” arti terjemahan dari bahasa tersebut.
Terras mengutip laporan intelijen mengatakan militer Rusia memiliki cukup roket hanya untuk tiga atau empat hari.
Dengan sanksi baru yag dijatuhkan ke Rusia karena penyerangan ke Ukraina, mereka diperkirakan tak akan bisa mengganti senjata yang habis.
“Jika Ukraina mampu menahan Rusia selama 10 hari, Rusia akan diharuskan melakukan negosiasi karena mereka sudah tak memiliki uang, senjata dan sumber daya,” katanya.
Terras mengungkapkan peperangan itu membuat Rusia harus mengeluarkan biaya 20 miliar dolar AS atau setara Rp 287 triliun per hari.
Sumber: New York Post/Kompas.TV