TRIBUNNEWS.COM - Analis kriptokurensi mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kriptokurensi tidak akan membiarkan Rusia menghindari rentetan sanksi yang ditujukan untuk menghukum Moskow karena menyerang Ukraina.
Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa dan Kanada mengumumkan sanksi baru pada Senin (28/2/2022).
Sanksi kali ini menargetkan bank sentral Rusia dan dana kekayaan nasional.
Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa hal itu membatasi kemampuan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk menggunakan cadangan devisa negara sebesar $630 miliar, jelas ec.europa.eu.
Baca juga: Volatilitas Investor Kripto Justru Meningkat di Tengah Ketidakstabilan Pasar Global
Baca juga: Empat Aset Kripto Ini Siap Listing di Indodax, Termasuk ASIX Token dan VET
Dikutip Al Jazeera, langkah itu diumumkan hanya sehari setelah AS dan sekutunya menyepakati untuk memberikan sanksi kepada Rusia dengan memblokir bank dari SWIFT.
Ekonomi Rusia sudah terhuyung-huyung pada Senin (28/2/2022).
Rubel jatuh ke titik terendah sepanjang masa, bank sentral menaikkan suku bunga utamanya menjadi 20 persen, dan bursa saham tetap tutup.
Memberlakukan sanksi membutuhkan kemampuan melacak transaksi, biasanya melalui sistem perbankan.
Baca juga: Kecoh Tentara Rusia, Ukraina Cabut Semua Rambu Jalan di Wilayahnya
Baca juga: Jokowi Ungkap Dampak Perang di Ukraina, Tambah Ketidakpastian Global
Iran dan Korea Utara sama-sama menggunakan kriptokurensi, yang beroperasi di luar batas sistem keuangan, untuk menghindari sanksi.
“Kripto dapat digunakan untuk menghindari sanksi dan menyembunyikan kekayaan,” Roman Bieda, kepala investigasi penipuan di Coinfirm, platform manajemen risiko blockchain mengatakan kepada Al Jazeera.
Para ahli kripto menambahkan kasus Rusia berbeda.
Negara tersebut memiliki ruang gerak yang lebih sedikit karena skala pukulan ekonomi dan adopsi mata uang digital yang terbatas.
Baca juga: UPDATE Invasi Rusia di Ukraina: Serangan Udara Hantam Kharkiv, Konvoi Tank Sepanjang 64 km ke Kiev
Mengganti ratusan miliar dolar
Tidak seperti Korea Utara, Venezuela, dan Iran, Rusia telah mendarah daging dalam sistem keuangan global selama beberapa dekade, kata Ari Redbord dari TRM labs, sebuah perusahaan intelijen blockchain, kepada Al Jazeera.