Setelah Revolusi Rusia pada 1917, Finlandia diberikan kemerdekaan oleh pemimpin Soviet Vladimir Lenin, meskipun perang saudara berdarah segera pecah antara partai konservatif yang berkuasa dan komunis.
Kemudian pada November 1939, pemimpin Soviet Joseph Stalin mencoba melakukan invasi yang kemudian dikenal sebagai Perang Musim Dingin.
Orang-orang Finlandia menunjukkan perlawanan yang sengit.
Uni Soviet menderita kerugian besar, dengan satu penembak jitu saja, Simo Häyhä, yang dijuluki White Death, mampu menghabisi 505 tentara Soviet.
Finlandia berhasil menahan Tentara Merah dan mempertahankan kebebasan mereka, tetapi kehilangan sebagian besar wilayah.
Kemudian selama Perang Dunia II, Finlandia bersekutu dengan Nazi Jerman untuk mencoba dan mengambilnya kembali, tetapi kalah dan harus membayar ganti rugi kepada Uni Soviet.
Janji Netralitas
Ketika Perang Dunia II membuka Perang Dingin, Finlandia dalam posisi yang unik setelah para pemimpinnya menandatangani perjanjian 1948 dengan Moskow.
Dengan pernjanjian ini, Finlandia berjanji untuk tidak bergabung dengan NATO maupun Pakta Warsawa yang dipimpin Soviet.
Finlandia tidak seperti negara lain yang bersekutu dengan Washington atau Kremlin, dua blok kekuatan utama dunia.
Meski secara resmi netral, Uni Soviet menekan Finlandia.
Perang Dingin tidak akan bertahan lama dan dengan runtuhnya Uni Soviet, Finlandia bergerak lebih dekat ke Barat dan bergabung dengan Uni Eropa pada 1995.
Namun, negara ini terus berhati-hati agar tidak membuat marah tetangganya yang lebih besar.
Baca juga: PBB Mengklaim Punya Bukti Rusia Pakai Senjata Terlarang untuk Serang Pemukiman Ukraina
Baca juga: Update Peta Invasi Rusia ke Ukraina: Kemajuan Pesat Pasukan Putin di Selatan
“Kami tetap mempertahankan posisi nonblok militer kami, meskipun kami bekerja sama dengan beberapa negara tetangga kami seperti Swedia, dan Amerika Serikat, dan juga NATO,” kata Markku Kangaspuro, seorang profesor studi Rusia dan Eropa Timur di Universitas Helsinki.