TRIBUNNEWS,COM, BEIJING – Wakil Menteri Luar Negeri Cina Le Yucheng mengatakan setuju atas penilaian NATO memicu krisis yang menyebabkan Rusia menggelar operasi militer ke Ukraina.
Yucheng juga mengingatkan AS agar tidak menebar senjata sementara mereka terus berusaha melakukan ekspansi politik keamanan ke Eropa timur.
Pernyataan keras Cina ini datang setelah sehari sebelumnya, Presiden AS Joe Biden memperingatkan Presiden Xi Jinping tentang "konsekuensi" jika Beijing mendukung aksi militer Rusia di Ukraina.
Berbicara di Forum Internasional Keempat tentang Keamanan dan Strategi di Beijing, Sabtu (19/3/2022), Yucheng setuju penilaian Moskow ekspansi NATO ke Eropa Timur membuka jalan menuju krisis saat ini.
Baca juga: POPULER Internasional: Pangkalan Ukraina Diserang Rusia | Pesawat Militer AS Jatuh saat Latihan NATO
Baca juga: Biden Beri Peringatan ke Presiden China Xi Jinping Jika Dukung Rusia, Bahas soal Konsekuensinya
“Komitmen untuk tidak melakukan ekspansi ke timur dapat dengan mudah mengakhiri krisis dan menghentikan penderitaan,” kata Yucheng dikutip Russia Today, Sabtu malam (19/3/2022).
“Sebaliknya, seseorang memilih untuk mengipasi api pada jarak yang aman, menyaksikan pedagang senjata, bankir, dan taipan minyaknya sendiri menghasilkan banyak uang dari perang sambil meninggalkan orang-orang di negara kecil dengan luka perang yang akan memakan waktu bertahun-tahun untuk sembuh, " imbuhnya menyindir politik luar negeri AS.
Ambisi NATO yang ingin menciptakan "keamanan absolut" sebaliknya menurut Yucheng, malah mengarah ke "non-keamanan absolut.
Konsekuensi menekan kekuatan besar, terutama kekuatan nuklir hingga mereka terpojok, bakal menimbulkan konsekuensi tak terbayangkan.
Moskow secara keras menentang kehadiran NATO di dekat perbatasannya, dan memulai misi mendapatkan jaminan tertulis yang akan menghentikan ekspansi blok militer pimpinan AS.
Rusia secara tegas melarang Ukraina bergabung ke NATO. Namun, selama bertahun-tahun, AS dan sekutu Eropanya mengabaikan kekhawatiran Rusia.
Presiden Vladimir Putin mengumumkan "operasi militer khusus" pada 24 Februari. Tujuannya "demiliterisasi dan denazifikasi" pemerintahan di Kiev.
Rusia ingin memastikan Ukraina tak lagi menimbulkan ancaman bagi Rusia atau republik Donbass yang baru diakui, yang telah menderita. tujuh tahun pengepungan yang melelahkan.
Sebaliknya AS dan sekutu NATO-nya menuduh Rusia memulai perang "tanpa alasan" untuk menduduki Ukraina.
Moskow akhirnya menerima sanksi pembatasan yang keras diterapkan padanya. AS, UE, dan banyak negara lain berusaha "mengisolasi" dan "menghancurkan" ekonomi Rusia.