TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Otoritas Sri Lanka memberlakukan jam malam pada Rabu (20/4/2022), atau sehari setelah terjadinya pembunuhan seorang demonstran anti-pemerintah dalam protes yang meningkat akibat krisis ekonomi di negara itu.
Pembunuhan tersebut memicu kecaman internasional.
Dikutip AFP, pemerintah Sri Lanka menjanjikan penyelidikan atas tuduhan bahwa polisi menggunakan kekuatan berlebihan untuk membubarkan orang-orang yang memprotes harga bahan bakar yang tinggi dan menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa karena krisis ekonomi yang memburuk.
"Saya telah memulai penyelidikan atas perilaku petugas di Rambukkana," kata kepala polisi Chandana Wickramaratne dalam sebuah pernyataan saat dia memerintahkan jam malam yang tidak ditentukan di daerah tersebut.
Sebagaimana diketahui, Sri Lanka berada dalam cengkeraman penurunan ekonomi terburuk sejak kemerdekaan pada tahun 1948.
Pemadaman listrik dilakukan secara teratur, kekurangan bahan bakar dan barang-barang lainnya, serta rekor inflasi yang menyebabkan kesengsaraan yang meluas.
Petugas melepaskan tembakan untuk membubarkan kerumunan yang akan membakar sebuah tanker diesel di Rambukkana, 95 kilometer timur ibukota, kata polisi dalam pernyataan sebelumnya.
Baca juga: Krisis Ekonomi Picu Bentrokan di Sri Lanka, Seorang Demonstran Tewas
Dalam bentrokan fatal pertama sejak protes anti-pemerintah pecah bulan ini, sedikitnya 29 orang termasuk 11 polisi terluka, kata para pejabat.
Dalam beberapa jam, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan protes lain di selatan pulau itu, tetapi tidak ada laporan segera mengenai korban, kata pejabat dan penduduk.
Polisi bergerak untuk membubarkan orang-orang yang menempati jalan utama dan menahan lalu lintas di Matara, 160 kilometer selatan Kolombo, kata penduduk.
Serikat pekerja telah menyerukan pemogokan umum pada hari Rabu untuk memprotes kenaikan biaya hidup.
Tarif angkutan umum akan naik 35% pada hari Rabu setelah solar dinaikkan hampir 65% sehari sebelumnya. Roti telah naik hampir 30%.
Di ibukota Kolombo, kerumunan besar telah berkemah di luar kantor Presiden sejak 9 April, menuntut pemimpin itu mundur.
Kehancuran ekonomi Sri Lanka terjadi setelah pandemi virus corona melumpuhkan pendapatan vital dari pariwisata dan pengiriman uang.
Pemerintah Sri Lanka pada pekan lalu mengumumkan default pada utang luar negeri yang besar.