TRIBUNNEWS.COM, PARIS – Kolumnis politik Rachel Marsden menulis negara-negara barat mulai melakukan tindakan keras terhadap narasi yang menyimpang kebijakan negara.
Kebijakan keras itu dilakukan ketika populisme meningkat di tengah kultur demokrasi dan kebebasan pribadi ala barat.
Rachel Marsden menunjuk gejala itu semakin terlihat ketika Presiden AS Joe Biden mengumumkan pembentukan Dewan Tata Kelola Disinformasi pada 27 April.
Dewan itu ada di bawah kendali Departemen Keamanan Dalam Negeri. Menurut Rcahel Marsden, pembentukan badan itu merupakan penghinaan terhadap hak warga negara.
Ulasan Panjang Rachel Marsden dipublikasikan di situs Russia Today, Jumat (6/5/2022). Berikut ini artikel Panjang Rachel, yang juga menelisik kebijakan di Kanada, Prancis, dan Inggris.
Baca juga: Media Barat Kompak Tutupi Sepak Terjang Batalyon Azov Neo-Nazi Ukraina
Baca juga: Kesaksian Pekerja Azovstal: Operasi Rusia Satu-satunya Cara Akhiri Neraka Ala Azov
Baca juga: Mengenal Resimen Azov, Kelompok Ekstremis yang Jadi Benteng Pertahanan Ukraina
Menurut Rachel, pembentukan badan baru yang menangani apa yang mereka sebut “disinformasi” lebih berorientasi pemolisian naratif warga.
Badan ini dipimpin mantan penasihat komunikasi Kementerian Luar Negeri Ukraina, Nina Jankowicz.
Konon tugas badan ini mengutip berita CBS News, mengatasi “disinformasi yang datang dari Rusia serta pesan menyesatkan tentang perbatasan AS-Meksiko.
Menariknya, dua masalah ini – imigrasi dan konflik asing – saat ini dipandang sebagai dua kegagalan paling signifikan Washington.
Kegagalan yang memunculkan perbedaan pendapat popular di masyarakat setempat. Jangan salah, perbedaan pendapat itulah yang menjadi target akhir.
Fakta mantan dokter pemerintah Ukraina dipandang sebagai orang terbaik untuk mengepalai badan ini menunjukkan tujuan sebenarnya.
Memuji Amerika Mencela Rusia
Jankowicz menerbitkan sebuah buku pada tahun 2020 yang judulnya menunjukkan dia percaya barat berada dalam perang online dengan Rusia.
Bukunya berjudul, “How to Lose the Information War: Russia, Fake News, and the Future of Conflict.”